Kumpulan Makalah

Subscribe:

Ads 468x60px

Social Icons

About

Blogger news

Blogroll

Selasa, 18 Agustus 2015

Laporan Karya Tulis Ilmiah (KTI) KKN Ke-XXXVIII Stain Pekalongan


URGENSI AIR DAN PEMELIHARAANYA: PERSPEKTIF ISLAM
BAGI DESA TOMBO

Disusun guna memenuhi tugas
Laporan Karya Ilmiah Individu KKN Ke-XXXVIII STAIN Pekalongan
Dosen Pembimbing Lapangan: Masykur, M. Ag




Disusun Oleh :
TRI WIBOWO
2032111009


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2015



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Air adalah salah satu sumber daya alam yang terpenting dalam kehidupan manusia. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan ini bila tidak tersedia air. Laju pertumbuhan penduduk yang berbanding terbalik dengan ketersediaan air telah menimbulkan krisis air. Krisis air telah menyadarkan manusia akan perlunya upaya penyadaran tentang pentingnya air dan pemeliharaannya. Berbagai upaya telah dilakukan, dan hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan agama ternyata efektif bagi penyadaran lingkungan, terutama di negara-negara Muslim, di mana Islam dikenal sebagai salah satu kekuatan baik secara politik maupun sosial.[1] Islam, dalam penilaian Pangeran Wales dalam pidatonya di Wilton Park, 13 Desember 1996, memiliki peranan penting dalam menemukan kembali tanggung jawab kemanusiaan terkait dengan lingkungan. Peranan penting yang dimainkan Islam adalah pengaitan alam ini dengan yang Suci, yang Spiritual, yang selama ini telah dilupakan peradaban manusia, setidaknya di Barat, sejak abad ke-17 (Mawil Izzi Dien, 2003).
Air merupakan kebutuhan pokok makhluk hidup baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dan untuk kelangsungan hidupnya. Manusia dan makhluk hidup lainnya yang tidak hidup dalam air, senantiasa mencari tempat tinggal dekat air supaya mudah untuk mengambil air untuk keperluan hidupnya.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk di desa Tombo kec. Bandar Kab. Batang, meningkat pula keperluan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Namun hingga sekarang belum semua warga dapat menikmati air bersih secara layak, karena belum semua warga memiliki saluran air bersih pipa dari sumber mata air. Kemampuan penyediaan air bersih untuk kehidupan sehari-hari bagi manusia adalah hal yang sangat penting. Air, tanah dan manusia adalah hal yang tidak dapat dipisahkan.
Ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari merupakan masalah yang cukup pelik, baik pada musim penghujan maupun musim kemarau, warga memperoleh air bersih dari mata air yang dialirkan ke setiap pemukiman rumah akan tetapi dengan ketersedian pipa yang kurang memadai menjadikan warga berebut/pergantian saat membutuhkan air. Hal ini karena kondisi fisik wilayahnya berupa perbukitan dengan batuan yang keras, batu padas, sehingga tidak mudah bagi penduduk desa Tombo untuk membuat sumur.
Dalam karya ilmiah ini penulis mencoba mengkaji masalah Urgensi air dan pemeliharaanya dari perspektif islam bagi desa Tombo. Karya ilmiah dibagi dalam empat sub-Kajian:
1)     Hasil Observasi di Desa Tombo (Mencakup gambaran Umum desa Tombo dan temuan potensi sumber mata air desa Tombo)
2)     Pola hubungan antara manusia dengan Air (mencakup pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya alam/air).
3)     Sustainabilitas Air (Mencakup Pandangan Dunia Islam tentang Lingkungan dan Pandangan Program Aksi serta Peran Negara dan Civil Islam (Masyarakat Madani).
4)     Analisis (temuan Potensi sumber Mata Air: urgensi air dan pemeliharaan dari perspektif islam bagi desa Tombo)
B.    Metode
Penulis dalam membuat Karya Ilmiah ini menggunakan metode sebagai berikut:
1.     Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian lapangan atau field research. Artinya, peneliti melakukan penelitian dengan terjun langsung ke lapangan dan terlibat dengan masyarakat setempat yang akan  diteliti.[2]
2.     Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang lebih menekankan kepada paradigma non-positivistik yang tidak menggunakan tolak ukur matematis dalam melakukan penelitian, tetapi menekankan ukuran kualitas suatu hal yang diteliti.
3.     Teknik Pengumpulan Data
Penulis melakukan pengumpulan data dengan menggunakan:
a.      Metode Wawancara
Metode wawancara adalah metode yang digunakan untuk memperoleh informasi secara langsung yang mendalam kepada seorang responden yang mana responden tersebut mengungkapkan perasaan, motivasi, sikap, atau keyakinannya terhadap suatu topik.
b.     Metode Pengamatan
Metode pengamatan atau biasa disebut metode observasi adalah menghimpun bahan-bahan keterangan yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang dijadikan obyek pengamatan.[3]
c.      Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode mencari data dari semua yang tersimpan berupa tulisan, cetakan, gambar, atau rekaman yang dapat digunakan sebagai bukti atau keterangan.
d.     Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan adalah mengumpulkan data dengan membaca teks (buku, artikel atau dokumen) secara langsung.[4]



BAB II
PEMBAHASAN
      I.          Hasil Observasi di Desa Tombo
1)     Gambaran Umum Desa Tombo
Secara administrasi Desa Tombo masuk Kecamatan Bandar Kabupaten Batang. Desa Tombo terbagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun Tampingan atau Rw 01 Dusun Centuko atau Rw 02 dan Dusun Tombo atau Rw 03. Dari ketiga wilayah  Dusun atau Rw terbagi menjadi 16 Rt dengan sebaran Rw 01 memiliki 4 Rt, Rw 02 memiliki 3 Rt dan Rw 03 memiliki 9 Rt.
Desa Tombo pada sebelah utara berbatasan dengan Desa Wonomerto, sebelah timur berbatasan dengan Desa Kambangan sebelah selatan berbatasan dengan Kembanglangit, Gerlang  dan Desa Telogo Hendro kecamatan Petung Kriyono Kabupaten Pekalongan, sebelah barat berbatasan dengan Desa Silurah Kecamatan Wonotunggal.
Wilayah desa merupakan wilayah perbukitan sampai pegunungan dengan ketinggian mulai 400 sampai 1500 diatas permukaan laut. Wilayah yang paling tinggi berada dibagian selatan yaitu diwilayah hutan lindung yang disebut Tunggangan dan Sutorenggo. Keseluruhan wilayah mencakup luas sekitar 970 hektar.[5]
2)     Temuan Potensi Sumber Mata Air Desa Tombo
Ketersediaan sumber daya alam hampir selamanya menjadi rujukan utama sewaktu manusia memilih tempat yang akan didiami sehingga mampu dalam menopang keperlun hidup dan kehidupan. Sebagai daerah hulu, Desa Tombo memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya hal ini terlihat dari luasan wilayah  yang mencapai 970 hektar serta ketersediaan berbagai ragam sumber alamiahnya.
Terdapat sekitar lima belas mata air yang menjadi sumber air bersih untuk keperluan masyarakat yang dialirkan ke pemukiman dengan menggunakan pipa atau menjadi tempat pemandian umum bagi masyarakat dengan memasang pancuran dari bambu. Mata air yang telah dimanfaatkan sekitar sepuluh dengan mengalirkan ke pemukiman sebanyak sepuluh buah yang tersebar ditiga dusun yaitu Tampingan, Centuko, Tombo. Dari kesepuluh sumber mata air yang dimanfaatkan penulis telah mensurvei dan mengamati salah satu sumber mata air secara langsung yang berada di dusun centuko kawasan Perhutani, untuk menuju kesumber mata air kami bersama para fasilitator desa tombo menelusuri jalan berjurang dan semak belukar yang sebelumnya tidak pernah dilewati, sesampainya dilokasi terlihat sumber mata air begitu jernih mengalir kesungai centuko melalui pemukiman mengairi pemukiman sawah, selain itu dengan menggunakan paralon diestafetkan ke pipa juga mengairi pemukiman rumah untuk kebutuhan sehari-hari masyarakat desa Tombo. Bentuk dari survei langkah awal nantinya sumber mata air akan dijadikan air mineral/kemasan. Saat ini sedang akan diProject-kan oleh Aparatur desa BPD dan Masrakat desa Tombo itu sendiri.[6]
    II.          Pola Hubungan antara Manusia dan Air
Sebagaimana telah diketahui, manusia dalam Islam, tidak saja diposisikan sebagai hamba Tuhan (Q.S. al-Dzâriyât/51: 56), namun juga sebagai khalifah-Nya atau mandataris-Nya di bumi yang bertugas untuk memakmurkannya (Q.S. Fâthir/35: 39; dan Hûd/11: 61). Abou Bakr Bakader, dkk., sebagaimana dikutip H. Mortada (2002: 716), menafsirkan kata khalifah bahwa manusia hanyalah pengelola bumi, bukan pemiliknya. Memang, sebagai konsekuensi dari tauhid, alam dan manusia merupakan kesatuan, berkedudukan setara, sama-sama ciptaan Allah. Namun, dengan tugas kekhalifahannya, manusia wajib aktif menjaga harmoni alam dan menyebarkan rahmat ke dalamnya. Sedangkan sebagai hamba, manusia wajib tunduk kepada Tuhan, dan menerima rahmat yang mengalir padanya. Sama halnya dengan Tuhan yang menghidupkan dan merawat alam, manusia harus merawat alam sekelilingnya. Itulah wujud ketundukkannya kepada Tuhan. Ia tidak dapat mengabaikannya, kecuali dengan mengkhianati kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Dari pemahaman di atas dan didukung hasil penelusuran ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, pola hubungan manusia dan alam (termasuk air) dibangun di atas dua prinsip: pemanfaatan sumber daya alam (termasuk air) dan pemeliharaan keseimbangan alam.
a)     Pemanfaatan Sumber Daya Alam/Air
Terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam, al-Qur’an menyatakan bahwa semua yang ada di bumi disediakan untuk manusia[7], karena itu manusia memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk air, untuk kebutuhan hidup mereka. Karena Allah menyediakan segala sumber daya alam, termasuk air, untuk kesejahteraan semua orang, maka dalam pemanfaatannya Islam mendorong adanya distribusi yang merata (Q.S. al-Qamar/54: 28), dan melarang sikap mementingkan diri, membahayakan orang lain, dan ketidak-adilan dalam distribusi kemanfaatan dari keuntungan finansial yang diperoleh dari pengelolaan (H. Mortada, 2002: 717). Selain itu, pemborosan dalam pemanfaatan sumber daya alam dilarang juga, baik untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti makan dan minum (Q.S. al-A`râf/7: 31), maupun untuk penyucian, seperti dalam berwudhu (Nabi memberi contoh berwudhu cukup dengan satu mudd, H.R. al-Bukhârî No. 194). Dengan pemahaman ini, larangan pemborosan dalam pemanfaatan air tidak berarti hemat sekali, namun sebetulnya yang diminta adalah wasath (moderasi), sebagaimana moderasi dalam membelanjakan harta (Q.S. al-Furqân/25: 67).
Sehubungan dengan larangan sikap mementingkan diri dalam pemanfaatan air, pengalaman historis Muslim telah mengatur dua hal yang mendasar, yaitu pemilikan air dan distribusi air. Karena air itu merupakan anugerah Allah, maka air pada dasarnya adalah milik bersama.[8] maka telah diatur bahwa individu dan kelompok memiliki hak untuk memiliki, mengolah, menggunakan, dan memberdayakanl sumber daya alam (berupa air), serta menambah biaya pengelolaan dan pengemasannya. Ada tiga jenis pemilikan: pemilikan pribadi, pemilikan pribadi yang terbatas, dan pemilikan publik (Laura Wickstrom, 2010: 102-103). Dalam pemilikan pribadi, seperti air sumur (dilengkapi dengan reservoir atau tidak), pemilik mempunyai hak untuk menggunakan, menjual, dan memperdagangkannya. Dalam pemilikan pribadi yang terbatas, seperti danau kecil, sungai kecil, dan mata air yang berlokasi di tanah pribadi, pemilik mempunyai hak khusus dan dapat memperdagangkan secara terbatas, namun dengan kewajiban- kewajiban tertentu terhadap pihak lain. Adapun dalam pemilikan publik, seperti air danau (besar), sungai (besar), gletser (sungai es), laut, air salju, dan air hujan, semua jenis air ini dalam kondisi alaminya tidak dapat dijual-belikan. Namun, bila infrastruktur dan pengetahuan telah diinvestasikan untuk memperolehnya, seperti terjadi pada penyulingan air laut, maka air menjadi kepemilikan privat (Laura Wickstrom, 2010: 103).
Karena penentuan harga bagi penyediaan air melalui rekayasa manusia diperkenankan dalam Islam, sebuah pertanyaan yang problematik adalah berapa seharusnya tarip yang pantas. Menurut Naser I. Furuqui, salah satu peneliti terkemuka dunia dalam bidang manajemen air, seperti dikutip Laura Wickstrom (2010: 103), tarip yang pantas adalah tarip yang mendorong pada terwujudnya persamaan yang lebih besar dalam masyarakat. Pedoman pentaripan ini telah diaplikasikan di Iran, misalnya, di mana air irigasi harus dijual dengan harga rata-rata dari biaya pengoperasian dan pemeliharaan, serta investasi infrastrukturnya.
Adapun masalah distribusi air, dalam pengalaman historis Muslim, telah diatur juga. Terkait dengan ini, telah ditetapkan tiga macam hak spesifik atas air dengan hierarki sebagai berikut: (1) hak minum (bagi yang dahaga); (2) hak memberi minum (dan kandang) bagi binatang ternak; (3) hak (mendapat) irigasi (Laura Wickstrom, 2010: 101). Selain itu, peraturan distribusi air secara umum berbasis pada prinsip memberi manfaat kepada banyak pihak yang terlibat dan berbagi dalam jalan air. Secara lebih rinci, peraturan distribusi air didasarkan kepada keaslian dan ukuran sumber air, jenis air dan penggunaannya. Sementara itu, sumber air terbagi ke dalam kategori-kategori: sungai, mata air, sumur, dan air hujan. Kategori sungai masih terbagi ke dalam sungai alami, besar dan kecil, kanal yang digali manusia, dan saluran-saluran irigasi (Mawil Izzi Dien, 2003).
b)     Pemeliharaan Sumber Daya Alam/Air
Walaupun Islam mendorong manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk air, namun Islam meminta mereka untuk memeliharanya. Ada beberapa alasan mengapa manusia diminta untuk memelihara sumber daya alam dan lingkungannya, sebagai penjabaran dari tugas kekhalifahannya (Mawil Izzi Dien, 2003). Pertama, sumber daya alam dan lingkungannya merupakan ciptaan Allah sebagai tanda kekuasaan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan sifat-sifat lain-Nya. Karena itu, sumber daya alam dan lingkungannya, bila dipelihara, mengembangkan kesadaran dan pemahaman manusia terhadap Penciptanya (Q.S. al-Ra`d/13: 3-4). Kedua, dengan melakukan pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungannya, itu berarti juga bahwa manusia telah melindungi ciptaan Allah yang memuji dan bertasbih kepada-Nya—sekalipun manusia bisa jadi tidak mengetahui cara-caranya (Q.S. al-Isrâ’/17: 44). Ketiga, Islam, sebagai pandangan hidup Muslim, dibangun atas dasar prinsip kebaikan (khair) (Q.S. al-Zalzalah/99: 7-8), sehingga pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungannya dengan sendirinya merupakan perbuatan kebaikan. Keempat, semua bentuk hubungan manusia dalam Islam didasarkan pada prinsip keadilan (`adl) dan kebajikan (ihsân) (Q.S. al-Nahl/16: 90), dan bukan pada pencapaian materi dan ekonomi. Kelima, tidak ada makhluk lain yang mampu menjalankan tugas pemeliharaan alam kecuali manusia yang telah diberi amanah (Q.S. al- Ahzâb/33: 72).
Menurut H. Mortada, ada sebab di balik larangan perusakan alam, seperti penebangan pohon dan pencemaran air, yaitu ajaran Islam yang menekankan kebersihan (dan kesehatan, dalam makna yang lebih luas) sebagai salah satu kebiasaan fundamental kehidupan sehari-hari umat Islam, wujud dari eksternalisasi iman. Selain sebab, ada beberapa tujuan dari larangan perusakan alam tersebut, yaitu: (1) melindungi hak-hak manusia akan air; (2) agar alam tetap memberikan manfaat kepada organisme lain, terutama berupa pangan dan papan; dan (3) agar lingkungan alam tetap terjaga harmoninya (H. Mortada, 2002: 717-718)
Lebih jauh, dalam syariah (legislasi hukum Islam) sebagai pengalaman historis Muslim, dikenal dua konsep umum terkait dengan pemeliharaan lingkungan, yaitu konsep harim dan hima. Konsep harim adalah semacam zona penyangga di seputar sumber air, terutama bantaran/pinggiran sungai, yang terlarang untuk pengembangan pemukiman agar melindungi batas air dan mencegah air dari pencemaran. Sedangkan konsep hima adalah semacam hutan lindung untuk memberikan perlindungan terhadap pohon dan margasatwa. Beberapa harim dan hima tradisional masih dapat dijumpai sampai sekarang, walaupun jumlahnya semakin menyusut (Laura Wickstrom, 2010: 100).
  III.          Sustainabilitas Air
Begitu pentingnya peranan air dalam kehidupan, seperti menjadi kebutuhan pokok makhluk hidup untuk dapat survive dan menjadi sarana penyucian, Allah telah menyediakan air di bumi kita ini, baik di permukaannya seperti di sungai dan danau, dan melalui hujan (Q.S. Al-Nûh/71: 11-12), maupun di perut bumi, berupa air tanah dan mata air (Q.S. al-Zumar/39: 21; dan al-Qamar/54: 12). Ketersediaan air dapat langka (Q.S. al-Mu’minûn/23: 18) dan kualitas air dapat berubah, seperti mengalami degradasi dari air tawar yang dapat diminum menjadi air asin yang tidak dapat diminum (Q.S. al- Wâqi`ah/56: 70, baik oleh kuasa Allah (lihat dua ayat terakhir) maupun oleh perbuatan manusia sendiri (Q.S. al-Rûm/30: 41).
Salah satu perbuatan manusia yang telah mempengaruhi sustainabilitas air, termasuk problem lingkungan adalah industrialisasi dan kapitalisme. Sementara itu, industrialisasi dan kapitalisme, menurut Sterling, hanyalah produk dari landasan filosofis pandangan dunia modern yang bercorak materialistik tanpa pengenalan terhadap konsep-konsep, seperti nilai, spirit, perasaan, emosi, intuisi, dan tujuan intrinsik. Hal ini dapat terjadi karena kemunduran pandangan dunia Kristen Abad Tengah yang kala itu tidak lagi dapat memberikan tempat pada pandangan intektual para ilmuwan, seperti Galileo, Bacon, Descartes, dan Newton. Pandangan dunia baru menjadi bercorak sekuler, ditopang oleh konsep dualisme Cartesian yang memisahkan jiwa dari badan, dan berdampak pada pemisahan manusia dari alam dan pemosisian manusia di atas alam, sehingga membuka hubungan antara manusia dan alam yang eksploitatif dan manipulatif (Sterling, 1990: 78).
Sehubungan dengan itu, kajian sustainabilitas air dapat dimulai dari membangun pandangan dunia Islam tentang lingkungan, dilanjutkan kemudian dengan respon Islam terhadap lingkungan urban era industri yang cenderung konsumtif dan penuh kecongkakan, dan diakhiri, dalam satu sub-kajian tersendiri, dengan program-program aksi yang dapat dilakukan oleh civil Islam (masyarakat madani).
1.     Pandangan Dunia Islam tentang Lingkungan (Sustainabilitas Air)
Dalam kajian berikut, sebagian besar bertitik tolak dari apa yang sudah dijelaskan di muka, akan dipaparkan beberapa nilai atau ajaran Islam yang secara bersama-sama membangun pandangan dunia Islam tentang lingkungan, termasuk sustainabilitas air. Nilai-nilai tersebut dapat dipilah menjadi tiga kategori: ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
a.      Nilai-nilai Ontologis: tauhîd, istikhlâf, dan taskhîr.
Tauhîd berarti kesatuan Pencipta dan ciptaannya, kesatuan manusia dan alam (Q.S. al-An`âm/6: 38, 59), dan membentuk landasan pendekatan holistik pada pandangan dunia Islam tentang lingkungan (sustainabilitas air). Istikhlâf berarti penunjukkan manusia sebagai mandataris Allah di bumi untuk memakmurkannya (Q.S. Fâthir/35: 39; dan Hûd/11: 61), termasuk tanggung jawabnya dalam mengamankan sustainabilitas air. Adapun taskhîr berarti penciptaan dan penyediaan alam oleh Allah dengan segala sumber dayanya (termasuk air) untuk kehidupan manusia (Q.S. Al-Baqarah/2: 29; dan al-Hajj/22: 65). Ketiga nilai ini mengimplisitkan tiga aktor penting sustainabilitas lingkungan/air, yaitu Tuhan, manusia, dan alam/air[9] (Cf. Laura Wickstrom, 2010: 99; Salim T.S. al-Hassani, 2009: 18).
b.     Nilai-nilai Epistemologis: amanah, `adl dan ihsân, mîzân, wasath, dan thaharah.
Amanah (Q.S. al-Ahzâb/33: 72) berarti mengamankan sustainabilitas lingkungan/ air tidak dijalankan oleh manusia, berarti dia telah mengkhianati kepercayaanNya. `Adl dan ihsân (Q.S. al-Nahl/16: 90) berarti hubungan antar sesama manusia dan hubungan antara manusia dan alam terkait dengan sustainabilitas lingkungan/air dilaksanakan dengan prinsip keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya) dan kebajikan (menjadi aktor dalam sustainabilitas lebih utama daripada sekedar menjadi konsumen). Mîzân (Q.S. al- Ra`d/13: 8; al-Furqân/25: 2) dan berarti makhluk Allah diciptakan dengan kadar masing-masing yang membangun harmoni/keseimbangan, sehingga memelihara sistem alam (sustainabilitas lingkungan, pemanfaatn air, udara, dan energi) dipahami sebagai memelihara harmoni/keseimbangan. Sementara thaharah (Q.S. al-Anfâl/8: 11) berarti kesucian spiritual dan kebersihan fisikal. Kesucian spiritual menghasilkan individu yang sadar akan kehadiran Allah yang berdampak pada kehidupan masyarakat yang harmoni dengan lingkungannya, sedangkan kebersihan fisikal menghasilkan masyarakat yang sehat, menjauhi pencemaran air dan udara, dan menghasilkan ekonomi yang bersih, menjauhi teknik-teknik pemasaran yang palsu dan mengandung riba (Cf. Laura Wickstrom, 2010: 99; Mawil Izzi Dien, 2003, Salim T.S. al-Hassani, 2009: 5-6).
c.      Nilai-nilai Aksiologis: rahmah dan manfa`ah.
Manfa`ah dan rahmah (tersirat pada H.R. Muslim No. 1718) berarti segala hubungan dan perlakuan terhadap semua makhluk hidup, termasuk air dan mikro-organisme, berujung pada terwujudnya manfaat atau kegunaan, baik bagi sasaran maupun bagi manusia sendiri, sebagai perwujudan rahmat bagi seluruh isi alam (Cf. Salim T.S. Al-Hassani, 2009: 5-6).
2.     Pandangan Program Aksi dan Peran Negara dan Civil Islam (Masyarakat Madani).
Pentingnya air dan prinsip-prinsip pengelolaannya tidak berhenti pada wacana. Wacana sebaiknya diikuti aksi yang melibatkan tidak saja negara namun juga masyarakat, khususnya umat Islam, lebih khusus lagi masyarakat madaninya. Mengapa negara? Karena, prinsip-prinsip pengelolaan air, bagaimanapun, perlu dirumuskan dalam sebuah undang-undang. Berikut ini beberapa agenda program aksi kontemporer, baik yang sudah dilakukan maupun yang mungkin dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap program aksi yang telah dilakukan.
Pemerintah Republik Indonesia ternyata telah membuat undang-undang, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pada tingkat internasional, Majlis Umum PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) pada 1977 telah menyetujui undang- undang yang dirancang oleh the International Law Commission (ILC), yaitu The Convention on the Law of the Non-Navigational Uses of International Watercourses (Laura Wickstrom, 2010: 104). Agenda program tindak lanjut yang dapat dilakukan terkait dengan ini adalah kajian undang-undang tersebut dari perspektif Islam, apakah undang- undang tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai Islam? Sedangkan dari perspektif hukum nasional, apakah lembaga negara yang sudah ada sudah cukup memadai untuk memediasi pihak-pihak yang konflik terkait dengan pengelolaan air sebagai dampak dari desentralisasi pemerintahan?
Agenda aksi yang juga perlu mendapat perhatian adalah pendidikan lingkungan yang dapat dilakukan oleh negara dan civil Islam (masyarakat madani), baik secara sendiri-sendiri maupun secara bekerja sama. Pendidikan lingkungan dapat dilakukan baik secara formal maupun non-formal. Secara formal, pendidikan lingkungan masuk dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi, baik melalui mata pelajaran yang berdiri sendiri maupun melalui bahan ajar yang diintegrasikan dalam mata pelajaran yang sudah ada.
Secara non-formal, pendidikan lingkungan dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Dari laporan Sadok Attallah, M.Z. Ali Khan, dan Mazen Malkawi yang melakukan penelitian pendidikan lingkungan di Timur Tengah, seperti dikutip Laura Wickstrom, pendidikan masjid merupakan salah satu bentuk pendidikan non-formal yang efektif. Pada dasawarsa 1990-an, sebuah program kerjasama antara Menteri Sumber Daya Air dan Menteri Wakaf dan Urusan Islam, misalnya, telah melatih imam masjid terkait dengan kelangkaan air, di Amman, Yordania (Laura Wickstrom, 2010: 105-106). Para imam masjid kemudian mensosialisasikan masalah kelangkaan air ini dalam khutbah.
Jumah mereka (Francesca Gilli, 2004: 7-8). Mempromosikan konservasi lingkungan dengan nilai-nilai Islam ternyata produktif, paling tidak dalam menaikkan kesadaran publik (Laura Wickstrom, 2010: 106). Perspektif Islam telah digunakan dalam pendidikan lingkungan dengan media masjid, karena hal itu dapat dengan mudah menyentuh semua strata dalam masyarakat. Pelatihan yang sama telah dilakukan juga di Afghanistan, Mesir, Palestina, dan beberapa negara Teluk (Francesca Gilli, 2004: 10). Bagaimana dengan Indonesia?
Bentuk lain dari pendidikan non-formal bagi pendidikan lingkungan berperspektif Islam adalah pembuatan dan penyebaran poster, brosur, dan booklet. Pesan inti dari poster adalah bahwa memelihara air itu merupakan kewajiban agama. Sebagian media menyampaikan pesan dengan menggunakan ayat al-Qur’an, dan sebagian media yang lain memulai pesan dengan Basmalah. Contoh lain penggunaan Islam dalam penyadaran isu air, adalah penamaan program dengan kata “Zam Zam” oleh sebuah lembaga non- pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat dari Palestina. Karena zam zam adalah salah satu ikon penting dalam Islam terkait dengan air, maka diharapkan program penyadaran isu air akan dengan mudah diterima masyarakat (Francesca Gilli, 2004: 8).
Tipologi lain dari pesan pendidikan tidak menggunakan formula Islam baku, namun formula netral yang menyiratkan panggilan keagamaan. Di Suriah, misalnya, pada 2002, dijumpai pada kartu pulsa telepon slogan “Al-Mâ’ Amânah” (Air adalah Amanah atau Kepercayaan). Akar kata amânah terkait dengan iman, dan ketika air adalah anugerah Allah maka pemanfaatannya adalah sebuah kepercayaan dari-Nya. Dengan demikian, penggunaan kata amânah menyiratkan panggilan keagamaan. Sebuah poster lain dari perusahaan air minum Suriah berbunyi “Al-Mâ’ Hibatullah fa-Hâfizh `alaihâ” (Air adalah Anugerah Allah, maka Jagalah). Sebuah gambar yang dikeluarkan Kementerian Irigasi Suriah menyampaikan sebuah pesan: “Da`wah ila al-Muhâfizhah `ala al-Miyâh” (Seruan/Ajakan untuk Memelihara Air). Sementara itu, Kelompok Hidrologi Palestina, menyebarkan stiker pada 2003 dengan tulisan bermakna penggunaan air yang benar itu merupakan wâjib dînî (kewajiban agama). Kata lain yang lebih netral digunakan dalam media adalah hayât (kehidupan) (Francesca Gilli, 2004: 9).
C.    Analisis (temuan Potensi sumber Mata Air: urgensi air dan pemeliharaan dari perspektif islam bagi desa Tombo)
Menilik ulang dari hasil observasi melimpahnya potensi sumber mata air di desa tombo tidak berhenti pada wacana. Wacana sebaiknya di-ikuti aksi yang melibatkan tidak saja aparatur desa namun juga masyarakat itu sendiri. Penulis telah mengamati Aksi nyata sekelompok orang pemikir dan pejuang yang bersedia melakukan perubahan kearah perbaikan nasib desanya dengan segenap kemauan dan kemampuanya. Aksi nyatanya melalui modal melimpah ruahnya potensi sedang merumuskan sumber mata air tersebut akan dijadikan air mineral/kemasan yang nantinya akn terhimpun dalam BUMDES Tombo. Menerutku sangat luar bisa sekelompok orang pemikir ini mengawali aksi pemanfaatan dan pengeloloan sumber mata air agar masyarakat itu sendiri benar-benar bisa menikmati dari kekayaan yang telah ada. Hal ini tentunya membawa urgensi bagi masyarakat desa tombo diantaranya memakmurkan alam khusunya desa tombo, pemanfaatan akan kayanya sumber mata air, menciptakan lapangan pekerjaan, penyediaan air yang melimpah ruah dll. Melihat hasil observasi yang kemudian penulis sinerjikan dengan kajian pemanfaatan air dan pemeliharaan air dalam perspektif islam harapanya masarakat tombo dengan akan pengelolaan sumber air kajian ini sebagai reference penguat pengelolaan air sebagai bentuk mahabah alam menuju desa tombo yang bermartabat dan rahmatan Li’alamin.




BAB III
PENUTUP
Á     Kesimpulan
Air dan pemeliharaannya ternyata menyatu dengan Islam. Ajaran dan nilai Islam telah memberikan landasan bagi sikap dan tindakan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai khalifah Allah terhadap air dan lingkungan pada umumnya.
Al-Qur’an menyatakan bahwa semua yang ada di bumi disediakan untuk manusia (Q.S. al-Baqarah/2: 29; dan al-Hajj/22: 65), karena itu manusia memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk air, untuk kebutuhan hidup mereka. Karena Allah menyediakan segala sumber daya alam, termasuk air, untuk kesejahteraan semua orang.
Besar harapan saya masyarakat desa tombo tatkala segala project dalam pemeliharaan air telah terealisasi tidak terlepas dari doktrin ke islaman dengan melakukan pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungannya, itu berarti juga bahwa masyarakat desa tombo telah melindungi ciptaan Allah yang memuji dan bertasbih kepada-Nya. Karena itu, sumber daya alam dan lingkungannya merupakan ciptaan Allah sebagai tanda kekuasaan, kasih sayang, kebijaksanaan, mengembangkan kesadaran dan pemahaman manusia terhadap Penciptanya dan sifat-sifat lain-Nya.



DAFTAR PUSTAKA
J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya (Jakarta: Grasindo, 2010)
Djaali dan Muljono, Pudji,  Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2007).
Zed, Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008).
Profil desa Tombo, Data administrasi dan wilyah, (priode 2014).
Pengamatan, survei secara lansung bersama sekelompok masyarakat ds. Tombo ke sumber mata Air dukuh centuko kawasan Perhutani, pada Tanggal 24 April 2015.
Wickstrom, Laura, “Islam and Water: Islamic Guiding Principles on Water Management,” dalam FIIA Report 25, (2010).





[1] Francesca Gilli, 2004: 7-10; dan Laura Wickstrom, 2010: 105-107.
[2] J. R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 9.

[3] Djaali dan Pudji Muljono, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 16.
[4] Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 4
[5] Profil desa Tombo, Data administrasi dan wilyah, (priode 2014).
[6] Pengamatan, survei secara lansung bersama sekelompok masyarakat ds. Tombo ke sumber mata Air dukuh centuko kawasan Perhutani, pada Tanggal 24 April 2015.
[7] Q.S. al-Baqarah/2: 29; dan al-Hajj/22: 65
[8] H.R. Abû Dâwûd No. 3016.
[9] Laura Wickstrom (2010), “Islam and Water: Islamic Guiding Principles on Water Management,” dalam FIIA Report 25, hlm. 98-108.

0 komentar:

Posting Komentar