URGENSI AIR
DAN PEMELIHARAANYA: PERSPEKTIF ISLAM
BAGI DESA
TOMBO
Disusun guna memenuhi tugas
Laporan Karya Ilmiah Individu KKN Ke-XXXVIII STAIN Pekalongan
Dosen Pembimbing
Lapangan: Masykur, M. Ag
Disusun Oleh :
TRI WIBOWO
2032111009
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Air adalah salah satu sumber daya alam
yang terpenting dalam kehidupan manusia. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan
ini bila tidak tersedia air. Laju pertumbuhan penduduk yang berbanding terbalik
dengan ketersediaan air telah menimbulkan krisis air. Krisis air telah
menyadarkan manusia akan perlunya upaya penyadaran tentang pentingnya air dan
pemeliharaannya. Berbagai upaya telah dilakukan, dan hasil penelitian menunjukkan
bahwa pendekatan agama ternyata efektif bagi penyadaran lingkungan, terutama di
negara-negara Muslim, di mana Islam dikenal sebagai salah satu kekuatan baik
secara politik maupun sosial.[1]
Islam, dalam penilaian Pangeran Wales dalam pidatonya di Wilton Park, 13
Desember 1996, memiliki peranan penting dalam menemukan kembali tanggung jawab
kemanusiaan terkait dengan lingkungan. Peranan penting yang dimainkan Islam
adalah pengaitan alam ini dengan yang Suci, yang Spiritual, yang selama ini
telah dilupakan peradaban manusia, setidaknya di Barat, sejak abad ke-17 (Mawil
Izzi Dien, 2003).
Air merupakan kebutuhan pokok makhluk
hidup baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dan untuk kelangsungan
hidupnya. Manusia dan makhluk hidup lainnya yang tidak hidup dalam air,
senantiasa mencari tempat tinggal dekat air supaya mudah untuk mengambil air
untuk keperluan hidupnya.
Semakin meningkatnya jumlah penduduk di desa
Tombo kec. Bandar Kab. Batang, meningkat pula keperluan air bersih untuk
keperluan sehari-hari. Namun hingga sekarang belum semua warga dapat menikmati
air bersih secara layak, karena belum semua warga memiliki saluran air bersih
pipa dari sumber mata air. Kemampuan penyediaan air bersih untuk kehidupan
sehari-hari bagi manusia adalah hal yang sangat penting. Air, tanah dan manusia
adalah hal yang tidak dapat dipisahkan.
Ketersediaan air untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari merupakan masalah yang cukup pelik, baik pada musim
penghujan maupun musim kemarau, warga memperoleh air bersih dari mata air yang
dialirkan ke setiap pemukiman rumah akan tetapi dengan ketersedian pipa yang
kurang memadai menjadikan warga berebut/pergantian saat membutuhkan air. Hal
ini karena kondisi fisik wilayahnya berupa perbukitan dengan batuan yang keras,
batu padas, sehingga tidak mudah bagi penduduk desa Tombo untuk membuat sumur.
Dalam karya ilmiah ini penulis mencoba
mengkaji masalah Urgensi air dan pemeliharaanya dari perspektif islam bagi desa
Tombo. Karya ilmiah dibagi dalam empat sub-Kajian:
1) Hasil
Observasi di Desa Tombo (Mencakup gambaran Umum desa Tombo dan temuan potensi
sumber mata air desa Tombo)
2) Pola
hubungan antara manusia dengan Air (mencakup pemanfaatan dan pemeliharaan
sumber daya alam/air).
3) Sustainabilitas
Air (Mencakup Pandangan Dunia Islam tentang Lingkungan dan Pandangan Program
Aksi serta Peran Negara dan Civil Islam (Masyarakat Madani).
4) Analisis
(temuan Potensi sumber Mata Air: urgensi air dan pemeliharaan dari perspektif
islam bagi desa Tombo)
B.
Metode
Penulis
dalam membuat Karya Ilmiah ini menggunakan metode sebagai berikut:
1.
Jenis
Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
lapangan atau field
research. Artinya, peneliti
melakukan penelitian dengan terjun langsung ke lapangan dan terlibat dengan
masyarakat setempat yang akan diteliti.[2]
2.
Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, yaitu pendekatan yang lebih menekankan kepada paradigma
non-positivistik yang tidak menggunakan tolak ukur matematis dalam melakukan
penelitian, tetapi menekankan ukuran kualitas suatu hal yang diteliti.
3. Teknik
Pengumpulan Data
Penulis melakukan pengumpulan data dengan
menggunakan:
a. Metode
Wawancara
Metode wawancara adalah
metode yang digunakan untuk memperoleh informasi secara langsung yang mendalam
kepada seorang responden yang mana responden tersebut mengungkapkan perasaan,
motivasi, sikap, atau keyakinannya terhadap suatu topik.
b. Metode
Pengamatan
Metode pengamatan atau biasa
disebut metode observasi adalah menghimpun bahan-bahan keterangan yang
dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis
terhadap fenomena-fenomena yang dijadikan obyek pengamatan.[3]
c. Metode
Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah
metode mencari data dari semua yang tersimpan berupa tulisan, cetakan, gambar,
atau rekaman yang dapat digunakan sebagai bukti atau keterangan.
d. Metode Kepustakaan
Metode kepustakaan adalah mengumpulkan data dengan
membaca teks (buku, artikel atau dokumen) secara langsung.[4]
BAB
II
PEMBAHASAN
I.
Hasil
Observasi di Desa Tombo
1) Gambaran
Umum Desa Tombo
Secara administrasi Desa Tombo masuk Kecamatan
Bandar Kabupaten Batang. Desa Tombo terbagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun
Tampingan atau Rw 01 Dusun Centuko atau Rw 02 dan Dusun Tombo atau Rw 03. Dari
ketiga wilayah Dusun atau Rw terbagi
menjadi 16 Rt dengan sebaran Rw 01 memiliki 4 Rt, Rw 02 memiliki 3 Rt dan Rw 03
memiliki 9 Rt.
Desa Tombo pada sebelah utara berbatasan dengan Desa
Wonomerto, sebelah timur berbatasan dengan Desa Kambangan sebelah selatan
berbatasan dengan Kembanglangit, Gerlang
dan Desa Telogo Hendro kecamatan Petung Kriyono Kabupaten Pekalongan,
sebelah barat berbatasan dengan Desa Silurah Kecamatan Wonotunggal.
Wilayah desa merupakan wilayah perbukitan sampai
pegunungan dengan ketinggian mulai 400 sampai 1500 diatas permukaan laut.
Wilayah yang paling tinggi berada dibagian selatan yaitu diwilayah hutan
lindung yang disebut Tunggangan dan Sutorenggo. Keseluruhan wilayah mencakup
luas sekitar 970 hektar.[5]
2) Temuan
Potensi Sumber Mata Air Desa Tombo
Ketersediaan sumber daya alam hampir selamanya
menjadi rujukan utama sewaktu manusia memilih tempat yang akan didiami sehingga
mampu dalam menopang keperlun hidup dan kehidupan. Sebagai daerah hulu, Desa
Tombo memiliki sumberdaya alam yang sangat kaya hal ini terlihat dari luasan
wilayah yang mencapai 970 hektar serta
ketersediaan berbagai ragam sumber alamiahnya.
Terdapat sekitar lima belas mata air
yang menjadi sumber air bersih untuk keperluan masyarakat yang dialirkan ke
pemukiman dengan menggunakan pipa atau menjadi tempat pemandian umum bagi
masyarakat dengan memasang pancuran dari bambu. Mata air yang telah
dimanfaatkan sekitar sepuluh dengan mengalirkan ke pemukiman sebanyak sepuluh
buah yang tersebar ditiga dusun yaitu Tampingan, Centuko, Tombo. Dari kesepuluh
sumber mata air yang dimanfaatkan penulis telah mensurvei dan mengamati salah
satu sumber mata air secara langsung yang berada di dusun centuko kawasan
Perhutani, untuk menuju kesumber mata air kami bersama para fasilitator desa
tombo menelusuri jalan berjurang dan semak belukar yang sebelumnya tidak pernah
dilewati, sesampainya dilokasi terlihat sumber mata air begitu jernih mengalir
kesungai centuko melalui pemukiman mengairi pemukiman sawah, selain itu dengan
menggunakan paralon diestafetkan ke pipa juga mengairi pemukiman rumah untuk
kebutuhan sehari-hari masyarakat desa Tombo. Bentuk dari survei langkah awal
nantinya sumber mata air akan dijadikan air mineral/kemasan. Saat ini sedang
akan diProject-kan oleh Aparatur desa BPD dan Masrakat desa Tombo itu sendiri.[6]
II.
Pola
Hubungan antara Manusia dan Air
Sebagaimana telah diketahui, manusia
dalam Islam, tidak saja diposisikan sebagai hamba Tuhan (Q.S. al-Dzâriyât/51:
56), namun juga sebagai khalifah-Nya atau mandataris-Nya di bumi yang bertugas
untuk memakmurkannya (Q.S. Fâthir/35: 39; dan Hûd/11: 61). Abou Bakr Bakader,
dkk., sebagaimana dikutip H. Mortada (2002: 716), menafsirkan kata khalifah
bahwa manusia hanyalah pengelola bumi, bukan pemiliknya. Memang, sebagai
konsekuensi dari tauhid, alam dan manusia merupakan kesatuan, berkedudukan
setara, sama-sama ciptaan Allah. Namun, dengan tugas kekhalifahannya, manusia
wajib aktif menjaga harmoni alam dan menyebarkan rahmat ke dalamnya. Sedangkan
sebagai hamba, manusia wajib tunduk kepada Tuhan, dan menerima rahmat yang
mengalir padanya. Sama halnya dengan Tuhan yang menghidupkan dan merawat alam,
manusia harus merawat alam sekelilingnya. Itulah wujud ketundukkannya kepada
Tuhan. Ia tidak dapat mengabaikannya, kecuali dengan mengkhianati kepercayaan
yang diberikan kepadanya.
Dari pemahaman di atas dan didukung
hasil penelusuran ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, pola hubungan manusia dan
alam (termasuk air) dibangun di atas dua prinsip: pemanfaatan sumber daya alam
(termasuk air) dan pemeliharaan keseimbangan alam.
a) Pemanfaatan
Sumber Daya Alam/Air
Terkait dengan pemanfaatan sumber daya
alam, al-Qur’an menyatakan bahwa semua yang ada di bumi disediakan untuk
manusia[7],
karena itu manusia memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk
air, untuk kebutuhan hidup mereka. Karena Allah menyediakan segala sumber daya
alam, termasuk air, untuk kesejahteraan semua orang, maka dalam pemanfaatannya
Islam mendorong adanya distribusi yang merata (Q.S. al-Qamar/54: 28), dan
melarang sikap mementingkan diri, membahayakan orang lain, dan ketidak-adilan
dalam distribusi kemanfaatan dari keuntungan finansial yang diperoleh dari
pengelolaan (H. Mortada, 2002: 717). Selain itu, pemborosan dalam pemanfaatan
sumber daya alam dilarang juga, baik untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti
makan dan minum (Q.S. al-A`râf/7: 31), maupun untuk penyucian, seperti dalam
berwudhu (Nabi memberi contoh berwudhu cukup dengan satu mudd, H.R. al-Bukhârî
No. 194). Dengan pemahaman ini, larangan pemborosan dalam pemanfaatan air tidak
berarti hemat sekali, namun sebetulnya yang diminta adalah wasath (moderasi),
sebagaimana moderasi dalam membelanjakan harta (Q.S. al-Furqân/25: 67).
Sehubungan dengan larangan sikap
mementingkan diri dalam pemanfaatan air, pengalaman historis Muslim telah mengatur
dua hal yang mendasar, yaitu pemilikan air dan distribusi air. Karena air itu
merupakan anugerah Allah, maka air pada dasarnya adalah milik bersama.[8]
maka telah diatur bahwa individu dan kelompok memiliki hak untuk memiliki, mengolah,
menggunakan, dan memberdayakanl sumber daya alam (berupa air), serta menambah
biaya pengelolaan dan pengemasannya. Ada tiga jenis pemilikan: pemilikan
pribadi, pemilikan pribadi yang terbatas, dan pemilikan publik (Laura
Wickstrom, 2010: 102-103). Dalam pemilikan pribadi, seperti air sumur
(dilengkapi dengan reservoir atau tidak), pemilik mempunyai hak untuk
menggunakan, menjual, dan memperdagangkannya. Dalam pemilikan pribadi yang
terbatas, seperti danau kecil, sungai kecil, dan mata air yang berlokasi di
tanah pribadi, pemilik mempunyai hak khusus dan dapat memperdagangkan secara
terbatas, namun dengan kewajiban- kewajiban tertentu terhadap pihak lain.
Adapun dalam pemilikan publik, seperti air danau (besar), sungai (besar),
gletser (sungai es), laut, air salju, dan air hujan, semua jenis air ini dalam
kondisi alaminya tidak dapat dijual-belikan. Namun, bila infrastruktur dan
pengetahuan telah diinvestasikan untuk memperolehnya, seperti terjadi pada
penyulingan air laut, maka air menjadi kepemilikan privat (Laura Wickstrom,
2010: 103).
Karena penentuan harga bagi penyediaan
air melalui rekayasa manusia diperkenankan dalam Islam, sebuah pertanyaan yang
problematik adalah berapa seharusnya tarip yang pantas. Menurut Naser I.
Furuqui, salah satu peneliti terkemuka dunia dalam bidang manajemen air,
seperti dikutip Laura Wickstrom (2010: 103), tarip yang pantas adalah tarip
yang mendorong pada terwujudnya persamaan yang lebih besar dalam masyarakat.
Pedoman pentaripan ini telah diaplikasikan di Iran, misalnya, di mana air irigasi
harus dijual dengan harga rata-rata dari biaya pengoperasian dan pemeliharaan,
serta investasi infrastrukturnya.
Adapun masalah distribusi air, dalam
pengalaman historis Muslim, telah diatur juga. Terkait dengan ini, telah
ditetapkan tiga macam hak spesifik atas air dengan hierarki sebagai berikut:
(1) hak minum (bagi yang dahaga); (2) hak memberi minum (dan kandang) bagi
binatang ternak; (3) hak (mendapat) irigasi (Laura Wickstrom, 2010: 101).
Selain itu, peraturan distribusi air secara umum berbasis pada prinsip memberi
manfaat kepada banyak pihak yang terlibat dan berbagi dalam jalan air. Secara
lebih rinci, peraturan distribusi air didasarkan kepada keaslian dan ukuran
sumber air, jenis air dan penggunaannya. Sementara itu, sumber air terbagi ke
dalam kategori-kategori: sungai, mata air, sumur, dan air hujan. Kategori
sungai masih terbagi ke dalam sungai alami, besar dan kecil, kanal yang digali
manusia, dan saluran-saluran irigasi (Mawil Izzi Dien, 2003).
b) Pemeliharaan
Sumber Daya Alam/Air
Walaupun Islam mendorong manusia untuk
memanfaatkan sumber daya alam, termasuk air, namun Islam meminta mereka untuk
memeliharanya. Ada beberapa alasan mengapa manusia diminta untuk memelihara
sumber daya alam dan lingkungannya, sebagai penjabaran dari tugas kekhalifahannya
(Mawil Izzi Dien, 2003). Pertama, sumber daya alam dan lingkungannya merupakan
ciptaan Allah sebagai tanda kekuasaan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan
sifat-sifat lain-Nya. Karena itu, sumber daya alam dan lingkungannya, bila
dipelihara, mengembangkan kesadaran dan pemahaman manusia terhadap Penciptanya
(Q.S. al-Ra`d/13: 3-4). Kedua, dengan melakukan pemeliharaan sumber daya alam
dan lingkungannya, itu berarti juga bahwa manusia telah melindungi ciptaan
Allah yang memuji dan bertasbih kepada-Nya—sekalipun manusia bisa jadi tidak
mengetahui cara-caranya (Q.S. al-Isrâ’/17: 44). Ketiga, Islam, sebagai
pandangan hidup Muslim, dibangun atas dasar prinsip kebaikan (khair) (Q.S.
al-Zalzalah/99: 7-8), sehingga pemeliharaan sumber daya alam dan lingkungannya
dengan sendirinya merupakan perbuatan kebaikan. Keempat, semua bentuk hubungan
manusia dalam Islam didasarkan pada prinsip keadilan (`adl) dan kebajikan
(ihsân) (Q.S. al-Nahl/16: 90), dan bukan pada pencapaian materi dan ekonomi.
Kelima, tidak ada makhluk lain yang mampu menjalankan tugas pemeliharaan alam
kecuali manusia yang telah diberi amanah (Q.S. al- Ahzâb/33: 72).
Menurut H. Mortada, ada sebab di balik
larangan perusakan alam, seperti penebangan pohon dan pencemaran air, yaitu
ajaran Islam yang menekankan kebersihan (dan kesehatan, dalam makna yang lebih
luas) sebagai salah satu kebiasaan fundamental kehidupan sehari-hari umat
Islam, wujud dari eksternalisasi iman. Selain sebab, ada beberapa tujuan dari
larangan perusakan alam tersebut, yaitu: (1) melindungi hak-hak manusia akan
air; (2) agar alam tetap memberikan manfaat kepada organisme lain, terutama
berupa pangan dan papan; dan (3) agar lingkungan alam tetap terjaga harmoninya
(H. Mortada, 2002: 717-718)
Lebih jauh, dalam syariah (legislasi
hukum Islam) sebagai pengalaman historis Muslim, dikenal dua konsep umum
terkait dengan pemeliharaan lingkungan, yaitu konsep harim dan hima. Konsep
harim adalah semacam zona penyangga di seputar sumber air, terutama
bantaran/pinggiran sungai, yang terlarang untuk pengembangan pemukiman agar
melindungi batas air dan mencegah air dari pencemaran. Sedangkan konsep hima
adalah semacam hutan lindung untuk memberikan perlindungan terhadap pohon dan
margasatwa. Beberapa harim dan hima tradisional masih dapat dijumpai sampai
sekarang, walaupun jumlahnya semakin menyusut (Laura Wickstrom, 2010: 100).
III.
Sustainabilitas
Air
Begitu pentingnya peranan air dalam
kehidupan, seperti menjadi kebutuhan pokok makhluk hidup untuk dapat survive
dan menjadi sarana penyucian, Allah telah menyediakan air di bumi kita ini,
baik di permukaannya seperti di sungai dan danau, dan melalui hujan (Q.S.
Al-Nûh/71: 11-12), maupun di perut bumi, berupa air tanah dan mata air (Q.S.
al-Zumar/39: 21; dan al-Qamar/54: 12). Ketersediaan air dapat langka (Q.S.
al-Mu’minûn/23: 18) dan kualitas air dapat berubah, seperti mengalami degradasi
dari air tawar yang dapat diminum menjadi air asin yang tidak dapat diminum
(Q.S. al- Wâqi`ah/56: 70, baik oleh kuasa Allah (lihat dua ayat terakhir)
maupun oleh perbuatan manusia sendiri (Q.S. al-Rûm/30: 41).
Salah satu perbuatan manusia yang telah
mempengaruhi sustainabilitas air, termasuk problem lingkungan adalah
industrialisasi dan kapitalisme. Sementara itu, industrialisasi dan
kapitalisme, menurut Sterling, hanyalah produk dari landasan filosofis
pandangan dunia modern yang bercorak materialistik tanpa pengenalan terhadap
konsep-konsep, seperti nilai, spirit, perasaan, emosi, intuisi, dan tujuan
intrinsik. Hal ini dapat terjadi karena kemunduran pandangan dunia Kristen Abad
Tengah yang kala itu tidak lagi dapat memberikan tempat pada pandangan
intektual para ilmuwan, seperti Galileo, Bacon, Descartes, dan Newton.
Pandangan dunia baru menjadi bercorak sekuler, ditopang oleh konsep dualisme
Cartesian yang memisahkan jiwa dari badan, dan berdampak pada pemisahan manusia
dari alam dan pemosisian manusia di atas alam, sehingga membuka hubungan antara
manusia dan alam yang eksploitatif dan manipulatif (Sterling, 1990: 78).
Sehubungan dengan itu, kajian
sustainabilitas air dapat dimulai dari membangun pandangan dunia Islam tentang
lingkungan, dilanjutkan kemudian dengan respon Islam terhadap lingkungan urban
era industri yang cenderung konsumtif dan penuh kecongkakan, dan diakhiri,
dalam satu sub-kajian tersendiri, dengan program-program aksi yang dapat
dilakukan oleh civil Islam (masyarakat madani).
1. Pandangan
Dunia Islam tentang Lingkungan (Sustainabilitas Air)
Dalam kajian berikut, sebagian besar
bertitik tolak dari apa yang sudah dijelaskan di muka, akan dipaparkan beberapa
nilai atau ajaran Islam yang secara bersama-sama membangun pandangan dunia
Islam tentang lingkungan, termasuk sustainabilitas air. Nilai-nilai tersebut
dapat dipilah menjadi tiga kategori: ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
a. Nilai-nilai
Ontologis: tauhîd, istikhlâf, dan taskhîr.
Tauhîd berarti kesatuan
Pencipta dan ciptaannya, kesatuan manusia dan alam (Q.S. al-An`âm/6: 38, 59),
dan membentuk landasan pendekatan holistik pada pandangan dunia Islam tentang
lingkungan (sustainabilitas air). Istikhlâf berarti penunjukkan manusia sebagai
mandataris Allah di bumi untuk memakmurkannya (Q.S. Fâthir/35: 39; dan Hûd/11:
61), termasuk tanggung jawabnya dalam mengamankan sustainabilitas air. Adapun
taskhîr berarti penciptaan dan penyediaan alam oleh Allah dengan segala sumber
dayanya (termasuk air) untuk kehidupan manusia (Q.S. Al-Baqarah/2: 29; dan
al-Hajj/22: 65). Ketiga nilai ini mengimplisitkan tiga aktor penting
sustainabilitas lingkungan/air, yaitu Tuhan, manusia, dan alam/air[9]
(Cf. Laura Wickstrom, 2010: 99; Salim T.S. al-Hassani, 2009: 18).
b. Nilai-nilai
Epistemologis: amanah, `adl dan ihsân, mîzân, wasath, dan thaharah.
Amanah (Q.S.
al-Ahzâb/33: 72) berarti mengamankan sustainabilitas lingkungan/ air tidak
dijalankan oleh manusia, berarti dia telah mengkhianati kepercayaanNya. `Adl
dan ihsân (Q.S. al-Nahl/16: 90) berarti hubungan antar sesama manusia dan
hubungan antara manusia dan alam terkait dengan sustainabilitas lingkungan/air
dilaksanakan dengan prinsip keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya) dan
kebajikan (menjadi aktor dalam sustainabilitas lebih utama daripada sekedar
menjadi konsumen). Mîzân (Q.S. al- Ra`d/13: 8; al-Furqân/25: 2) dan berarti
makhluk Allah diciptakan dengan kadar masing-masing yang membangun
harmoni/keseimbangan, sehingga memelihara sistem alam (sustainabilitas
lingkungan, pemanfaatn air, udara, dan energi) dipahami sebagai memelihara
harmoni/keseimbangan. Sementara thaharah (Q.S. al-Anfâl/8: 11) berarti kesucian
spiritual dan kebersihan fisikal. Kesucian spiritual menghasilkan individu yang
sadar akan kehadiran Allah yang berdampak pada kehidupan masyarakat yang
harmoni dengan lingkungannya, sedangkan kebersihan fisikal menghasilkan
masyarakat yang sehat, menjauhi pencemaran air dan udara, dan menghasilkan
ekonomi yang bersih, menjauhi teknik-teknik pemasaran yang palsu dan mengandung
riba (Cf. Laura Wickstrom, 2010: 99; Mawil Izzi Dien, 2003, Salim T.S.
al-Hassani, 2009: 5-6).
c. Nilai-nilai
Aksiologis: rahmah dan manfa`ah.
Manfa`ah dan rahmah
(tersirat pada H.R. Muslim No. 1718) berarti segala hubungan dan perlakuan
terhadap semua makhluk hidup, termasuk air dan mikro-organisme, berujung pada
terwujudnya manfaat atau kegunaan, baik bagi sasaran maupun bagi manusia
sendiri, sebagai perwujudan rahmat bagi seluruh isi alam (Cf. Salim T.S.
Al-Hassani, 2009: 5-6).
2. Pandangan
Program Aksi dan Peran Negara dan Civil Islam (Masyarakat Madani).
Pentingnya air dan prinsip-prinsip
pengelolaannya tidak berhenti pada wacana. Wacana sebaiknya diikuti aksi yang
melibatkan tidak saja negara namun juga masyarakat, khususnya umat Islam, lebih
khusus lagi masyarakat madaninya. Mengapa negara? Karena, prinsip-prinsip
pengelolaan air, bagaimanapun, perlu dirumuskan dalam sebuah undang-undang.
Berikut ini beberapa agenda program aksi kontemporer, baik yang sudah dilakukan
maupun yang mungkin dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap program aksi yang
telah dilakukan.
Pemerintah Republik Indonesia ternyata
telah membuat undang-undang, yaitu Undang-undang No. 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air. Pada tingkat internasional, Majlis Umum PBB (Perserikatan
Bangsa-bangsa) pada 1977 telah menyetujui undang- undang yang dirancang oleh
the International Law Commission (ILC), yaitu The Convention on the Law of the
Non-Navigational Uses of International Watercourses (Laura Wickstrom, 2010:
104). Agenda program tindak lanjut yang dapat dilakukan terkait dengan ini
adalah kajian undang-undang tersebut dari perspektif Islam, apakah undang-
undang tersebut telah sesuai dengan nilai-nilai Islam? Sedangkan dari
perspektif hukum nasional, apakah lembaga negara yang sudah ada sudah cukup
memadai untuk memediasi pihak-pihak yang konflik terkait dengan pengelolaan air
sebagai dampak dari desentralisasi pemerintahan?
Agenda aksi yang juga perlu mendapat
perhatian adalah pendidikan lingkungan yang dapat dilakukan oleh negara dan
civil Islam (masyarakat madani), baik secara sendiri-sendiri maupun secara
bekerja sama. Pendidikan lingkungan dapat dilakukan baik secara formal maupun
non-formal. Secara formal, pendidikan lingkungan masuk dalam kurikulum sekolah
dan perguruan tinggi, baik melalui mata pelajaran yang berdiri sendiri maupun
melalui bahan ajar yang diintegrasikan dalam mata pelajaran yang sudah ada.
Secara non-formal, pendidikan lingkungan
dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. Dari laporan Sadok Attallah, M.Z. Ali
Khan, dan Mazen Malkawi yang melakukan penelitian pendidikan lingkungan di
Timur Tengah, seperti dikutip Laura Wickstrom, pendidikan masjid merupakan
salah satu bentuk pendidikan non-formal yang efektif. Pada dasawarsa 1990-an,
sebuah program kerjasama antara Menteri Sumber Daya Air dan Menteri Wakaf dan
Urusan Islam, misalnya, telah melatih imam masjid terkait dengan kelangkaan
air, di Amman, Yordania (Laura Wickstrom, 2010: 105-106). Para imam masjid
kemudian mensosialisasikan masalah kelangkaan air ini dalam khutbah.
Jumah mereka (Francesca Gilli, 2004:
7-8). Mempromosikan konservasi lingkungan dengan nilai-nilai Islam ternyata
produktif, paling tidak dalam menaikkan kesadaran publik (Laura Wickstrom,
2010: 106). Perspektif Islam telah digunakan dalam pendidikan lingkungan dengan
media masjid, karena hal itu dapat dengan mudah menyentuh semua strata dalam
masyarakat. Pelatihan yang sama telah dilakukan juga di Afghanistan, Mesir,
Palestina, dan beberapa negara Teluk (Francesca Gilli, 2004: 10). Bagaimana
dengan Indonesia?
Bentuk lain dari pendidikan non-formal
bagi pendidikan lingkungan berperspektif Islam adalah pembuatan dan penyebaran
poster, brosur, dan booklet. Pesan inti dari poster adalah bahwa memelihara air
itu merupakan kewajiban agama. Sebagian media menyampaikan pesan dengan
menggunakan ayat al-Qur’an, dan sebagian media yang lain memulai pesan dengan
Basmalah. Contoh lain penggunaan Islam dalam penyadaran isu air, adalah
penamaan program dengan kata “Zam Zam” oleh sebuah lembaga non- pemerintah atau
lembaga swadaya masyarakat dari Palestina. Karena zam zam adalah salah satu
ikon penting dalam Islam terkait dengan air, maka diharapkan program penyadaran
isu air akan dengan mudah diterima masyarakat (Francesca Gilli, 2004: 8).
Tipologi lain dari pesan pendidikan
tidak menggunakan formula Islam baku, namun formula netral yang menyiratkan
panggilan keagamaan. Di Suriah, misalnya, pada 2002, dijumpai pada kartu pulsa
telepon slogan “Al-Mâ’ Amânah” (Air adalah Amanah atau Kepercayaan). Akar kata
amânah terkait dengan iman, dan ketika air adalah anugerah Allah maka
pemanfaatannya adalah sebuah kepercayaan dari-Nya. Dengan demikian, penggunaan
kata amânah menyiratkan panggilan keagamaan. Sebuah poster lain dari perusahaan
air minum Suriah berbunyi “Al-Mâ’ Hibatullah fa-Hâfizh `alaihâ” (Air adalah
Anugerah Allah, maka Jagalah). Sebuah gambar yang dikeluarkan Kementerian
Irigasi Suriah menyampaikan sebuah pesan: “Da`wah ila al-Muhâfizhah `ala
al-Miyâh” (Seruan/Ajakan untuk Memelihara Air). Sementara itu, Kelompok
Hidrologi Palestina, menyebarkan stiker pada 2003 dengan tulisan bermakna
penggunaan air yang benar itu merupakan wâjib dînî (kewajiban agama). Kata lain
yang lebih netral digunakan dalam media adalah hayât (kehidupan) (Francesca
Gilli, 2004: 9).
C.
Analisis
(temuan Potensi sumber Mata Air: urgensi air dan pemeliharaan dari perspektif
islam bagi desa Tombo)
Menilik ulang dari hasil observasi
melimpahnya potensi sumber mata air di desa tombo tidak berhenti pada wacana.
Wacana sebaiknya di-ikuti aksi yang melibatkan tidak saja aparatur desa namun
juga masyarakat itu sendiri. Penulis telah mengamati Aksi nyata sekelompok
orang pemikir dan pejuang yang bersedia melakukan perubahan kearah perbaikan
nasib desanya dengan segenap kemauan dan kemampuanya. Aksi nyatanya melalui
modal melimpah ruahnya potensi sedang merumuskan sumber mata air tersebut akan
dijadikan air mineral/kemasan yang nantinya akn terhimpun dalam BUMDES Tombo.
Menerutku sangat luar bisa sekelompok orang pemikir ini mengawali aksi
pemanfaatan dan pengeloloan sumber mata air agar masyarakat itu sendiri
benar-benar bisa menikmati dari kekayaan yang telah ada. Hal ini tentunya
membawa urgensi bagi masyarakat desa tombo diantaranya memakmurkan alam
khusunya desa tombo, pemanfaatan akan kayanya sumber mata air, menciptakan
lapangan pekerjaan, penyediaan air yang melimpah ruah dll. Melihat hasil
observasi yang kemudian penulis sinerjikan dengan kajian pemanfaatan air dan
pemeliharaan air dalam perspektif islam harapanya masarakat tombo dengan akan
pengelolaan sumber air kajian ini sebagai reference penguat pengelolaan air
sebagai bentuk mahabah alam menuju desa tombo yang bermartabat dan rahmatan
Li’alamin.
BAB III
PENUTUP
Á Kesimpulan
Air dan pemeliharaannya ternyata menyatu
dengan Islam. Ajaran dan nilai Islam telah memberikan landasan bagi sikap dan
tindakan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai khalifah Allah terhadap
air dan lingkungan pada umumnya.
Al-Qur’an menyatakan bahwa semua yang
ada di bumi disediakan untuk manusia (Q.S. al-Baqarah/2: 29; dan al-Hajj/22:
65), karena itu manusia memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam,
termasuk air, untuk kebutuhan hidup mereka. Karena Allah menyediakan segala
sumber daya alam, termasuk air, untuk kesejahteraan semua orang.
Besar harapan saya masyarakat desa tombo
tatkala segala project dalam pemeliharaan air telah terealisasi tidak terlepas
dari doktrin ke islaman dengan melakukan pemeliharaan sumber daya alam dan
lingkungannya, itu berarti juga bahwa masyarakat desa tombo telah melindungi
ciptaan Allah yang memuji dan bertasbih kepada-Nya. Karena itu, sumber daya
alam dan lingkungannya merupakan ciptaan Allah sebagai tanda kekuasaan, kasih
sayang, kebijaksanaan, mengembangkan kesadaran dan pemahaman manusia terhadap
Penciptanya dan sifat-sifat lain-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
J. R.
Raco, Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya (Jakarta:
Grasindo, 2010)
Djaali
dan Muljono, Pudji, Pengukuran Dalam
Bidang Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 2007).
Zed, Mestika, Metode
Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008).
Profil
desa Tombo, Data administrasi dan wilyah,
(priode 2014).
Pengamatan, survei secara lansung bersama sekelompok masyarakat ds. Tombo ke sumber
mata Air dukuh centuko kawasan Perhutani, pada Tanggal 24 April 2015.
Wickstrom, Laura, “Islam and Water: Islamic Guiding Principles on Water Management,”
dalam FIIA Report 25, (2010).
[2] J. R. Raco, Metode
Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya (Jakarta:
Grasindo, 2010), hlm. 9.
[3]
Djaali dan Pudji Muljono, Pengukuran Dalam Bidang Pendidikan, (Jakarta:
Grasindo, 2007), hlm. 16.
[4]
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 4
[5] Profil desa Tombo, Data administrasi dan wilyah, (priode 2014).
[6] Pengamatan, survei secara lansung bersama sekelompok masyarakat ds. Tombo ke sumber
mata Air dukuh centuko kawasan Perhutani, pada Tanggal 24 April 2015.
[8]
H.R. Abû Dâwûd No. 3016.
[9] Laura Wickstrom (2010), “Islam and Water: Islamic Guiding Principles
on Water Management,” dalam FIIA Report 25, hlm. 98-108.
0 komentar:
Posting Komentar