Kumpulan Makalah

Subscribe:

Ads 468x60px

Social Icons

About

Blogger news

Blogroll

Minggu, 17 Maret 2013

Dialektika George Wilhelm Friedrich Hegel

 


Sosok: G.W Friedrich Hegel


BAB I
PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang
Filsafat  sejarah merupakan komponen yang tak dapat dipisahkan dari rangkaian keilmuan filsafat secara umum.Bagian integral yang berpengaruh dalam memahami dan mengkaji sejarah dari sudut pandang filsafat.Memandang sejarah bukan hanya masa lampau namun juga menjadi unsur perubahan dari masa ke masa.
Beberapa tokoh bermunculan dari ranah filsafat sejarah,dan Hegel termasuk didalamnya.Dia merupakan salah satu filsuf ternama yang dihasilkan Jerman sebagai sebuah tempat yang layak bagi lahirnya beberapa filsuf terkenal dan berpengaruh. Disamping Immmanuel Kant,Hegel memiliki konsistensi dalam berfikir dan kapabilitas rasio yang mampu menterjemahkan hidup dalam bentuk rumus dialektikanya yang terkenal. Hegel seorang yang progresif dalam berfikir dan bertindak,meskipun tidak reaksioner dalam bersikap terhadap realitas.Filsafat Roh yang merupakan karakternya,yang dia akui merupakan hasil sintesa antara pemikiran Fichte dan Schelling dizaman pertumbuhan filsafat idealisme Jerman abad-19.Dia cenderung memaknainya sebagai Roh Mutlak atau Idealisme Mutlak. Makalah ini akan menjelaskan sedikit tentang Hegel, baik dari biografi, karya-karyanya dan juga pemikirannya.

B.   Rumusan Masalah?
a)      Memahami Riwayat Hidup G.W Friedrich Hegel?
b)      Apa karya tulis G.W Friendrich Hegel?
c)      Bagaimanakah Idealisme & pemikiran G.W Friendrich Hegel?


    BAB II
PEMBAHASAN
1.      Riwayat Hidup G.W.F Hegel
George Wilhelm Friedrich Hegel tokoh terbesar dari filsafat idealis lahir di kota Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1770 dan meninggal pada tanggal 14 November 1931. Beliau dari keluarga pegawai negeri, ayahnya merupakan pekerja di kantor keuangan kerajaan Wurtenberg. Tahun 1788 dia masuk sekolah teologi yaitu Universitas Tuebingen. Di sana dia mengenal penyair Holderlin dan Schelling. Pada awalnya dia sangat tertarik dengan teologi, dia bahkan menganggap filasafat adalah teologi dalam pengertian penyelidikan terhadap Yang Absolut. Dari tahun 1790 sampai 1800 bisa dibilang Hegel hanya menghasilkan karya-karya yang berbau teologi antara lain “The Positivity of Christian Religion” tahun 1796 dan “The Spirit of Christianity” tahun 1799.
Hegel selanjutnya setelah sempat tinggal di Swiss, mengajar di Universitas Jena tahun 1801, di sana dia selain mengajar dia juga bekerjasama dengan Schelling dalam menyunting jurnal filsafat. Tahun 1807 terbitlah “Die Phanomenologie des Geistes” (Fenomenologi Roh) yang merupakan dasar dari sistem filsafatnya. Hegel sendiri juga terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa ia hidup. Peristiwa itu adalah dikalahkannya pasukan Prusia oleh tentara Prancis di bawah pimpinan Napoleon tahun 1806 (Napoleon di Berlin (Lukisan karya Meynier). Setelah mengalahkan tentara Prusia dalam pertempuran Jena-Auerstedt, tentara Perancis memasuki Berlin pada tanggal 17 Oktober 1806). Dengan demikian Prusia dikuasai oleh pemerintahan Napoleon. Dalam pemerintahan Napoleon rakyat Prusia hidup dalam iklim yang jauh lebih demokratis, kebebasan pers misalnya sangatlah dijunjung tinggi. Namun ternyata Napoleon tidak dapat bertahan lama menguasai Prusia, karena lewat peperangan sengit antara Leipzig dan Waterloo, Napoleon pun dikalahkan tahun 1816. Kekaisaran Prusia kembali dipulihkan dan pemerintahan yang bersifat otoritarian kembali dijalankan di seluruh wilayah Prusia. Perlu diketahui Hegel yang pada masa revolusi Prancis bersimpati pada gerakan Jacobin (anggota dari gerakan radikal yang instituted the Reign of Terror selama Revolusi Perancis) yang radikal, ternyata pengagum Napoleon. Dia menyebut Napoleon sebagai Roh Dunia dan kagum atas kejeniusan dan kekuatan Napoleon. Namun ketika kekaisaran Prusia direstorasi dia juga menyatakan diri sebagai pengagum kekaisaran Prusia bahkan menjadi seorang propaganda aktifnya.
Tahun 1818 dia menggantikan Fichte sebagai Profesor di Universitas Berlin dan di sana dia mempublikasikan sebuah karya yang sangat berpengaruh terhadap filsafat politik dan filsafat hukum, buku yang terbit tahun 1820 itu berjudul “Grundlinien der Philosophie des Rechts” (Garis Besar Filsafat Hukum). Selanjutnya terbit juga buku-buku lain yang merupakan hasil dari kuliahnya di Universitas Berlin, yang terpenting dari beberapa karyanya itu adalah “Philosophy of History”. Hegel meninggal di Berlin tahun 1831 sama dengan nasib anaknya yang tidak diakuinya yang meninggal di Jakarta –dulu Batavia—saat menunaikan tugasnya sebagai tentara Belanda tahun 1831.[1]
2.      Karya G.W Frendrich Hegel
Dalam karya besarnya, salah satunya ialah The Encyclopedia of the Philosophical Sciences, Hegel membagi sistem filosofisnya ke dalam tiga bagian: logika, filsafat alam, dan filsafat roh. Dalam logika—bukan dalam pengertian tradisional—dia menjelaskan struktur kategorial idea yang mendasari segala yang ada. Dua bagian yang lain merupakan penjelasan dari struktur konseptual yang lebih spesifik yang mewujud dalam alam dan roh; dimana keduanya adalah area manifestasi idea.
Metode yang digunakan Hegel untuk membuktikan tesisnya tentang pengetahuan rasional tentang yang absolut adalah metode dialektika. Metode ini muncul sebagai reaksi atas pembatasan Kant atas pengetahuan hanya pada yang sensible dan pendapat Kant yang memustahilkan pengetahuan rasional murni atas yang absolut. Tidak seperti Kant yang membatasi pengetahuan pada pengalaman (phenomena), Hegel memilih untuk memahami keseluruhan yang menjadi dasar semua pengalaman. Metode dialektik yang diadopsi Hegel berbeda dengan dialektika yang dikenal sebelumnya. Karena, bagi Hegel, dialektika Plato, misalnya, tidaklah murni dialektik karena ia bermula dari proposisi yang telah diasumsikan, yang karenanya tidak bersumber dari masing-masing elemen dialektik.
Menurut Hegel, dialektik terdiri dari tiga aspek secara berurutan. Yang pertama adalah aspek abstraksi, dimana pemahaman mengasumsikan bahwa sebuah konsep adalah tidak terikat dan sepenuhnya terlepas dari hal lain. Aspek kedua adalah aspek negasi ketika pemahaman menemukan bahwa ternyata konsepnya tidaklah sepenuhnya terlepas dari yang lain, ia harus dipahami dalam kaitannya dengan hal lain. Pada titik ini, pemahaman terperangkap dalam kontradiksi; disatu sisi ia harus mengasumsikan ada yang tak terikat untuk mengakhiri rangkaian ikatan-ikatan, tapi disisi lain ia tidak bisa mengasumsikan yang tak terikat karena ia selalu menemukan batasan yang mengikatnya. Tahap ketiga adalah tahap spekulatif atau rasional yang mengakhiri kontradiksi antar dua tahapan sebelumnya dengan memandang bahwa yang tak terikat bukanlah sesuatu yang tersendiri melainkan keseluruhan dimana segala yang terbatas hanyalah bagian darinya. Dengan demikian bagi Hegel, keseluruhan mendahului bagian-bagiannya. Dalam kaitannya dengan agama, Hegel meyakini bahwa filsafat adalah pemahaman rasional terhadap keimanan keagamaan. Sesuatu yang oleh seni dan agama dipahami pada tingkat intuisi, oleh filsafat dipahami pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu level konsep atau pemikiran sistematis. Konsep Hegel tentang yang absolut dalam batas tertentu setara dengan konsep Tuhan dalam konsep agama tradisional. Bahkan Hegel sering merujuk pada yang absolut dengan kata Tuhan.[2]
Beberapa segi konsep Hegel juga mendukung konsep yang dikenal dalam agama tradisional, seperti konsep teleologinya yang merestorasi konsep perhatian ilahiah (providence) dalam agama Kristen. Konsep perkembangan yang dijabarkan Hegel mendukung doktrin trinitas, yang baginya sang bapa merepresentasikan momen kesatuan, sang anak momen perbedaan, dan roh kudus momen kesatuan dalam perbedaan. Tapi dalam beberapa hal yang lain, Hegel juga menolak beberapa aspek agama Kristen. Misalnya, dia menolak doktrin Tuhan transenden yang melampaui alam dan sejarah. Baginya, yang absolut tidak dapat melampaui alam dan sejarah karena ia mewujud hanya di dalam dan melalui keduanya.
3.      Filsafat idealisme & Pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel.
a)       Filsafat Idealisme Hegel.
Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan idealisme absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal dengan idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi metafisika.
Tulisan ini akan secara singkat memaparkan idealisme absolut menurut Hegel disertai beberapa penjelasan konsep kunci yang terkait dengannya.
Penjelasan Istilah Menurut sebuah kamus filsafat, idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide (idea); bahwa ide-ide ada sebelum keberadaan sesuatu yang lain; bahwa ide-ide merupakan dasar dari ke-ada-an sesuatu.[3] Dalam kamus lain dijelaskan bahwa idealisme adalah sistem atau doktrin yang dasar penafsirannya yang fundamental adalah ideal. Berlawanan dengan materialisme yang menekankan ruang, sensibilitas, fakta, dan hal yang bersifat mekanistik, idealisme menekankan supra-ruang, non-sensibilitas, penilaian, dan ideologis. Dalam tataran epistemologis, idealisme berpendapat bahwa dunia eksternal hanya dapat dipahami hanya dengan merujuk pada ide-ide dan bahwa pandangan kita tentang alam eksternal selalu dimediasi oleh tindakan pikiran.[4]

b)      Dialektika.
Dalam menjelaskan sistem filsafat Hegel, kurang begitu lengkap jika tidak menyinggung triadik Hegel: tesa, antitesa, dan sintesa. Namun, sebelum menjelaskan lebih jauh tentang ketiga hal ini, ada baiknya kita pahami walau selintas, istilah “ide” dan “dialektika” sebagai dasar pemahaman awal kita menuju pengertian tiga istilah di atas.
Sebagaimana tersirat dalam uraian sebelumnya, dialektika merupakan suatu “irama” yang memerintahkan seluruh filsafat Hegel. Menurut Llyod Spencer dan Andrzej Krauze, dialektika bukan merupakan “metode” atau suatu sistem yang prinsip, sebab yang menyebabkan ia begitu rumit untuk dijelaskan karena proses dialektika hanya mudah dimengerti dalam hal yang bersifat konkret . Barangkali karena alasan demikian , Hegel tetap bersikukuh pada keyakinannya bahwa antara “idealitas” dan “realitas” tidak ada perbedaan. Pengertian ini, oleh Hadiwijono, justru dipahami sebagai pengertian ontologis dialektika itu sendiri. Bahwa pengertian-pengertian dan kategori-kategori sebenarnya bukan hanya yang menyusun pemikiran kita, melainkan suatu kenyataan sebagai kerangka dan hakikat dunia dalam pikiran.[5] Dengan demikian, dialektika dapat kita pahami sebagai usaha mendamaikan dan mengompromikan hal-hal yang berlawanan.[6] Kendatipun lalu akan kita ketahui, bahwa sistem inilah yang akhirnya menjadi kelemahan Hegel karena terlalu memaksakan dialektika terhadap segala sesuatu. Dan dari sini, semakin nampak bahwa suatu perbedaan, pada hakikatnya akan menjadi ancaman serius dalam filsafat Hegel.
Hal yang membedakan dialektika Hegel dengan logika Klasik adalah pada logika klasik tidak dipercayainya prinsip kontradiksi, sedangkan dalam konsep dialektika Hegel dimungkinkan. Hegel percaya bahwa kontradiksi dialektik adalah titik sentral dalam pemahaman alam. Dan kontradiksi itu ia simbolkan melalui triadik dealektik: tesis, antitesis, dan sintesis.
Proses dialektika terdiri atas tiga fase:
1. Tesis
2. Antitesis
3. Sintesis
Contoh aplikasi dialektika (diambil dari Bertrens, 1979:69): Ada tiga bentuk Negara: (1) Diktator. Disini hidup warga Negara diatur dengan baik, tetapi warga Negara tidak memiliki kebebasan (tesis). (2) Keadaan ini menampilkan lawannya, Negara anarki (antitesis). Dalam bentuk ini warga Negara memiliki kebebasan tanpa batas, tetapi kehidupan kacau. (3) Tesis dan Antitesis ini disintesis, yaitu Negara demokrasi. Dalam bentuk ini kebebasan warga Negara dibatasi oleh undang-undang, dan hidup masyarakat tidak kacau.
Uraian di atas dapat kita jelaskan dengan menyimak masing-masing pengertian tiga istilah triade tersebut. Pertama, tesis, merupakan “yang ada”. Sebagai pengertian umum, maka ia lepas dari segala isi yang konkret. Tidak memuat apa-apa dan tidak dapat dijelaskan bagaimanana. Ketiadaan pengertian yang jelas dari tesis ini melahirkan triade kedua, sintesis, atau “yang tidak ada”. Triade terakhir ini mengandung pengertian yang sama dengan tesis, artinya perngertian yang tidak dapat dimengerti bagaimana. Begitu kebuntuan terjadi di masing-masing triade, maka muncullah sintesis atau “yang menjadi” sebagai titik sentuh dari tesis dan sintesis. Namun ternyata proses dialektika itu tidak berhenti sampai titik ini. Pengertian “menjadi” ini mengandung pengertian “yang menjadikan”. Karenanya, “yang ada”, karena “menjadi”, berada sebagai “yang terbatas”. Adanya sesuatu “yang terbatas” ini bisa menjadi tesis baru, dan karenanya mengandaikan suatu “yang tidak terbatas”, atau antitesis baru. Dengan demikian, keduanya akan mengahasilkan sistesis baru sebagai aufhebung. Kata aufhebung atau aufheben dari Hegel berkaitan dengan fase ketiga dari dialektika yang dikenal dengan fase sintesis itu. Di dalam fase ini, terjadi aufheben yang berarti terjadinya negasi dan pengangkatan. Terjadinya negasi berarti bahwa tesis dan antitesis sudah lewat dan tidak ada lagi, sedangkan pengangkatan memiliki arti bahwa walaupun tesis dan antitesis dinegasikan, tetapi kebenaran daripada tesis dan antitesis tetap dipertahankan dan disimpan di dalam sintesis dengan bentuk yang lebih sempurna.[7]





BAB III
PENUTUP
Ø Kesimpulan
·         Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan idealisme absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal dengan idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi metafisika.
·         idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide (idea).
·         Proses dialektika menurut Hegel terdiri dari tiga fase, yaitu: Fase pertama (tesis) dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis).




DAFTAR PUSTAKA
Van der Weij, P.A. Dr. Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Yogyakarta Kanisius, 2000.
Kenny, Anthony. An Illustrated Brief History of Western Philosophy. Oxford: Blackwell.
Hadiwiyono, Harun. Dr.Sari Sejarah Filsafat Barat 2.Kanisius,Yogyakarta.2005
Tafsir, Ahmad. filsafat ilmu, akal sejak thales sampai capra ,Pt Remaja Rosdakarya  Bandung.
Bunnin, Nicholas & Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. (Oxford: Blackwell Publishing. 2004.




[1]Dr. P.A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 102-103
[2] Anthony Kenny, An Illustrated Brief History of Western Philosophy, (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h. 302.
[3]Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The Blackwell Dictionary of Western Philosophy, (Oxford: Blackwell Publishing, 2004), h. 322.
[4] Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, op. cit., h. 323.
[5] Harun Hadiwiyono,Dr.Sari Sejarah Filsafat Barat 2,hal 101
[6] Ahmad tafsir. filsafat ilmu, akal sejak thales sampai james, hal 153

[7] Dr. Harun Hadiwiyono.Sari Sejarah Filsafat Barat 2,hal 102

0 komentar:

Posting Komentar