PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat sejarah merupakan komponen yang tak dapat
dipisahkan dari rangkaian keilmuan filsafat secara umum.Bagian integral yang
berpengaruh dalam memahami dan mengkaji sejarah dari sudut pandang
filsafat.Memandang sejarah bukan hanya masa lampau namun juga menjadi unsur perubahan
dari masa ke masa.
Beberapa tokoh bermunculan dari ranah filsafat
sejarah,dan Hegel termasuk didalamnya.Dia merupakan salah satu filsuf ternama
yang dihasilkan Jerman sebagai sebuah tempat yang layak bagi lahirnya beberapa
filsuf terkenal dan berpengaruh. Disamping Immmanuel Kant,Hegel memiliki
konsistensi dalam berfikir dan kapabilitas rasio yang mampu menterjemahkan
hidup dalam bentuk rumus dialektikanya yang terkenal. Hegel seorang yang
progresif dalam berfikir dan bertindak,meskipun tidak reaksioner dalam bersikap
terhadap realitas.Filsafat Roh yang merupakan karakternya,yang dia akui
merupakan hasil sintesa antara pemikiran Fichte dan Schelling dizaman
pertumbuhan filsafat idealisme Jerman abad-19.Dia cenderung memaknainya sebagai
Roh Mutlak atau Idealisme Mutlak. Makalah ini akan menjelaskan sedikit tentang
Hegel, baik dari biografi, karya-karyanya dan juga pemikirannya.
B.
Rumusan Masalah?
a)
Memahami Riwayat Hidup G.W Friedrich Hegel?
b)
Apa karya tulis G.W Friendrich Hegel?
c)
Bagaimanakah Idealisme & pemikiran G.W Friendrich Hegel?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Riwayat Hidup G.W.F Hegel
George Wilhelm Friedrich Hegel tokoh terbesar dari filsafat idealis
lahir di kota Stuttgart pada tanggal 27 Agustus 1770 dan meninggal pada tanggal
14 November 1931. Beliau dari keluarga pegawai negeri, ayahnya merupakan
pekerja di kantor keuangan kerajaan Wurtenberg. Tahun 1788 dia masuk sekolah
teologi yaitu Universitas Tuebingen. Di sana dia mengenal penyair Holderlin dan
Schelling. Pada awalnya dia sangat tertarik dengan teologi, dia bahkan
menganggap filasafat adalah teologi dalam pengertian penyelidikan terhadap Yang
Absolut. Dari tahun 1790 sampai 1800 bisa dibilang Hegel hanya menghasilkan
karya-karya yang berbau teologi antara lain “The Positivity of Christian
Religion” tahun 1796 dan “The Spirit of Christianity” tahun 1799.
Hegel selanjutnya setelah sempat tinggal di Swiss, mengajar di
Universitas Jena tahun 1801, di sana dia selain mengajar dia juga bekerjasama
dengan Schelling dalam menyunting jurnal filsafat. Tahun 1807 terbitlah “Die
Phanomenologie des Geistes” (Fenomenologi Roh) yang merupakan dasar dari sistem
filsafatnya. Hegel sendiri juga terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa politik
yang terjadi pada masa ia hidup. Peristiwa itu adalah dikalahkannya pasukan
Prusia oleh tentara Prancis di bawah pimpinan Napoleon tahun 1806 (Napoleon
di Berlin (Lukisan karya Meynier). Setelah mengalahkan tentara Prusia dalam
pertempuran Jena-Auerstedt, tentara Perancis memasuki Berlin pada tanggal 17 Oktober
1806). Dengan demikian Prusia
dikuasai oleh pemerintahan Napoleon. Dalam pemerintahan Napoleon rakyat Prusia
hidup dalam iklim yang jauh lebih demokratis, kebebasan pers misalnya sangatlah
dijunjung tinggi. Namun ternyata Napoleon tidak dapat bertahan lama menguasai
Prusia, karena lewat peperangan sengit antara Leipzig dan Waterloo, Napoleon
pun dikalahkan tahun 1816. Kekaisaran Prusia kembali dipulihkan dan
pemerintahan yang bersifat otoritarian kembali dijalankan di seluruh wilayah
Prusia. Perlu
diketahui Hegel yang pada masa revolusi Prancis bersimpati pada gerakan Jacobin (anggota dari gerakan radikal yang instituted
the Reign of
Terror selama Revolusi Perancis) yang radikal, ternyata
pengagum Napoleon. Dia menyebut Napoleon sebagai Roh Dunia dan kagum atas
kejeniusan dan kekuatan Napoleon. Namun ketika kekaisaran Prusia direstorasi
dia juga menyatakan diri sebagai pengagum kekaisaran Prusia bahkan menjadi
seorang propaganda aktifnya.
Tahun 1818 dia
menggantikan Fichte sebagai Profesor di Universitas Berlin dan di sana dia
mempublikasikan sebuah karya yang sangat berpengaruh terhadap filsafat politik
dan filsafat hukum, buku yang terbit tahun 1820 itu berjudul “Grundlinien der
Philosophie des Rechts” (Garis Besar Filsafat Hukum). Selanjutnya terbit juga
buku-buku lain yang merupakan hasil dari kuliahnya di Universitas Berlin, yang
terpenting dari beberapa karyanya itu adalah “Philosophy of History”. Hegel
meninggal di Berlin tahun 1831 sama dengan nasib anaknya yang tidak diakuinya
yang meninggal di Jakarta –dulu Batavia—saat menunaikan tugasnya sebagai
tentara Belanda tahun 1831.[1]
2.
Karya G.W
Frendrich Hegel
Dalam karya besarnya, salah satunya
ialah The Encyclopedia of the Philosophical Sciences, Hegel membagi sistem
filosofisnya ke dalam tiga bagian: logika, filsafat alam, dan filsafat roh.
Dalam logika—bukan dalam pengertian tradisional—dia menjelaskan struktur
kategorial idea yang mendasari segala yang ada. Dua bagian yang lain merupakan
penjelasan dari struktur konseptual yang lebih spesifik yang mewujud dalam alam
dan roh; dimana keduanya adalah area manifestasi idea.
Metode yang digunakan Hegel untuk membuktikan
tesisnya tentang pengetahuan rasional tentang yang absolut adalah metode
dialektika. Metode ini muncul sebagai reaksi atas pembatasan Kant atas
pengetahuan hanya pada yang sensible dan pendapat Kant yang memustahilkan
pengetahuan rasional murni atas yang absolut. Tidak seperti Kant yang membatasi
pengetahuan pada pengalaman (phenomena), Hegel memilih untuk memahami
keseluruhan yang menjadi dasar semua pengalaman. Metode dialektik yang diadopsi
Hegel berbeda dengan dialektika yang dikenal sebelumnya. Karena, bagi Hegel, dialektika
Plato, misalnya, tidaklah murni dialektik karena ia bermula dari proposisi yang
telah diasumsikan, yang karenanya tidak bersumber dari masing-masing elemen
dialektik.
Menurut Hegel, dialektik terdiri dari
tiga aspek secara berurutan. Yang pertama adalah aspek abstraksi, dimana
pemahaman mengasumsikan bahwa sebuah konsep adalah tidak terikat dan sepenuhnya
terlepas dari hal lain. Aspek kedua adalah aspek negasi ketika pemahaman
menemukan bahwa ternyata konsepnya tidaklah sepenuhnya terlepas dari yang lain,
ia harus dipahami dalam kaitannya dengan hal lain. Pada titik ini, pemahaman
terperangkap dalam kontradiksi; disatu sisi ia harus mengasumsikan ada yang tak
terikat untuk mengakhiri rangkaian ikatan-ikatan, tapi disisi lain ia tidak
bisa mengasumsikan yang tak terikat karena ia selalu menemukan batasan yang
mengikatnya. Tahap ketiga adalah tahap spekulatif atau rasional yang mengakhiri
kontradiksi antar dua tahapan sebelumnya dengan memandang bahwa yang tak
terikat bukanlah sesuatu yang tersendiri melainkan keseluruhan dimana segala
yang terbatas hanyalah bagian darinya. Dengan demikian bagi Hegel, keseluruhan
mendahului bagian-bagiannya. Dalam kaitannya dengan agama,
Hegel meyakini bahwa filsafat adalah pemahaman rasional terhadap keimanan
keagamaan. Sesuatu yang oleh seni dan agama dipahami pada tingkat intuisi, oleh
filsafat dipahami pada tingkat yang lebih tinggi, yaitu level konsep atau
pemikiran sistematis. Konsep Hegel tentang yang absolut dalam batas tertentu
setara dengan konsep Tuhan dalam konsep agama tradisional. Bahkan Hegel sering
merujuk pada yang absolut dengan kata Tuhan.[2]
Beberapa segi konsep Hegel juga
mendukung konsep yang dikenal dalam agama tradisional, seperti konsep
teleologinya yang merestorasi konsep perhatian ilahiah (providence) dalam agama
Kristen. Konsep perkembangan yang dijabarkan Hegel mendukung doktrin trinitas,
yang baginya sang bapa merepresentasikan momen kesatuan, sang anak momen
perbedaan, dan roh kudus momen kesatuan dalam perbedaan. Tapi dalam beberapa
hal yang lain, Hegel juga menolak beberapa aspek agama Kristen. Misalnya, dia
menolak doktrin Tuhan transenden yang melampaui alam dan sejarah. Baginya, yang
absolut tidak dapat melampaui alam dan sejarah karena ia mewujud hanya di dalam
dan melalui keduanya.
3.
Filsafat
idealisme & Pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel.
a)
Filsafat Idealisme
Hegel.
Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel dengan
idealisme absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal dengan
idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi metafisika.
Tulisan ini akan secara singkat
memaparkan idealisme absolut menurut Hegel disertai beberapa penjelasan konsep
kunci yang terkait dengannya.
Penjelasan Istilah Menurut sebuah kamus filsafat, idealisme adalah
aliran filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya adalah
ide (idea); bahwa ide-ide ada sebelum keberadaan sesuatu yang lain; bahwa
ide-ide merupakan dasar dari ke-ada-an sesuatu.[3]
Dalam kamus lain dijelaskan bahwa idealisme adalah sistem atau doktrin yang
dasar penafsirannya yang fundamental adalah ideal. Berlawanan dengan
materialisme yang menekankan ruang, sensibilitas, fakta, dan hal yang bersifat
mekanistik, idealisme menekankan supra-ruang, non-sensibilitas, penilaian, dan
ideologis. Dalam tataran epistemologis, idealisme berpendapat bahwa dunia
eksternal hanya dapat dipahami hanya dengan merujuk pada ide-ide dan bahwa
pandangan kita tentang alam eksternal selalu dimediasi oleh tindakan pikiran.[4]
b)
Dialektika.
Dalam menjelaskan sistem filsafat Hegel, kurang begitu lengkap jika tidak
menyinggung triadik Hegel: tesa, antitesa, dan sintesa. Namun, sebelum
menjelaskan lebih jauh tentang ketiga hal ini, ada baiknya kita pahami walau
selintas, istilah “ide” dan “dialektika” sebagai dasar pemahaman awal kita
menuju pengertian tiga istilah di atas.
Sebagaimana tersirat dalam
uraian sebelumnya, dialektika merupakan suatu “irama” yang memerintahkan
seluruh filsafat Hegel. Menurut Llyod Spencer dan Andrzej Krauze, dialektika
bukan merupakan “metode” atau suatu sistem yang prinsip, sebab yang menyebabkan
ia begitu rumit untuk dijelaskan karena proses dialektika hanya mudah
dimengerti dalam hal yang bersifat konkret . Barangkali karena alasan demikian
, Hegel tetap bersikukuh pada keyakinannya bahwa antara “idealitas” dan
“realitas” tidak ada perbedaan. Pengertian ini, oleh Hadiwijono, justru
dipahami sebagai pengertian ontologis dialektika itu sendiri. Bahwa
pengertian-pengertian dan kategori-kategori sebenarnya bukan hanya yang
menyusun pemikiran kita, melainkan suatu kenyataan sebagai kerangka dan hakikat
dunia dalam pikiran.[5] Dengan
demikian, dialektika dapat kita pahami sebagai usaha mendamaikan dan
mengompromikan hal-hal yang berlawanan.[6]
Kendatipun lalu akan kita ketahui, bahwa sistem inilah yang akhirnya menjadi
kelemahan Hegel karena terlalu memaksakan dialektika terhadap segala sesuatu.
Dan dari sini, semakin nampak bahwa suatu perbedaan, pada hakikatnya akan
menjadi ancaman serius dalam filsafat Hegel.
Hal yang membedakan dialektika Hegel dengan logika Klasik adalah pada
logika klasik tidak dipercayainya prinsip kontradiksi, sedangkan dalam konsep
dialektika Hegel dimungkinkan. Hegel percaya bahwa kontradiksi dialektik adalah
titik sentral dalam pemahaman alam. Dan kontradiksi itu ia simbolkan melalui
triadik dealektik: tesis, antitesis, dan sintesis.
Proses
dialektika terdiri atas tiga fase:
1. Tesis
2. Antitesis
3. Sintesis
Contoh aplikasi
dialektika (diambil dari Bertrens, 1979:69): Ada tiga bentuk Negara: (1)
Diktator. Disini hidup warga Negara diatur dengan baik, tetapi warga Negara
tidak memiliki kebebasan (tesis). (2) Keadaan ini menampilkan lawannya, Negara
anarki (antitesis). Dalam bentuk ini warga Negara memiliki kebebasan tanpa
batas, tetapi kehidupan kacau. (3) Tesis dan Antitesis ini disintesis, yaitu
Negara demokrasi. Dalam bentuk ini kebebasan warga Negara dibatasi oleh
undang-undang, dan hidup masyarakat tidak kacau.
Uraian di atas dapat kita
jelaskan dengan menyimak masing-masing pengertian tiga istilah triade tersebut.
Pertama, tesis, merupakan “yang ada”. Sebagai pengertian umum,
maka ia lepas dari segala isi yang konkret. Tidak memuat apa-apa dan tidak
dapat dijelaskan bagaimanana. Ketiadaan pengertian yang jelas dari tesis ini
melahirkan triade kedua, sintesis, atau “yang tidak ada”. Triade
terakhir ini mengandung pengertian yang sama dengan tesis, artinya perngertian
yang tidak dapat dimengerti bagaimana. Begitu kebuntuan terjadi di
masing-masing triade, maka muncullah sintesis atau “yang
menjadi” sebagai titik sentuh dari tesis dan sintesis. Namun ternyata proses
dialektika itu tidak berhenti sampai titik ini. Pengertian “menjadi” ini
mengandung pengertian “yang menjadikan”. Karenanya, “yang ada”, karena
“menjadi”, berada sebagai “yang terbatas”. Adanya sesuatu “yang terbatas” ini
bisa menjadi tesis baru, dan karenanya mengandaikan suatu “yang tidak
terbatas”, atau antitesis baru. Dengan demikian, keduanya akan mengahasilkan
sistesis baru sebagai aufhebung. Kata aufhebung atau aufheben dari
Hegel berkaitan dengan fase ketiga dari dialektika yang dikenal dengan fase
sintesis itu. Di dalam fase ini, terjadi aufheben yang berarti
terjadinya negasi dan pengangkatan. Terjadinya negasi berarti bahwa tesis dan
antitesis sudah lewat dan tidak ada lagi, sedangkan pengangkatan memiliki arti
bahwa walaupun tesis dan antitesis dinegasikan, tetapi kebenaran daripada tesis
dan antitesis tetap dipertahankan dan disimpan di dalam
sintesis dengan bentuk yang lebih sempurna.[7]
BAB III
PENUTUP
Ø Kesimpulan
·
Tokoh idealisme Jerman terbesar pasca Kant adalah Hegel
dengan idealisme absolutnya, satu generasi lebih muda dari Kant. Hegel dikenal
dengan idealisme absolut yang dengannya dia mencoba merehabilitasi metafisika.
·
idealisme adalah aliran filsafat yang berpendapat bahwa
objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide (idea).
·
Proses
dialektika menurut Hegel terdiri dari tiga fase, yaitu: Fase pertama (tesis)
dihadapi antitesis (fase kedua), dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis).
DAFTAR PUSTAKA
Van der Weij, P.A. Dr. Filsuf-filsuf Besar
Tentang Manusia, Yogyakarta Kanisius, 2000.
Kenny, Anthony. An
Illustrated Brief History of Western Philosophy. Oxford: Blackwell.
Hadiwiyono, Harun. Dr.Sari
Sejarah Filsafat Barat 2.Kanisius,Yogyakarta.2005
Tafsir, Ahmad. filsafat ilmu, akal
sejak thales sampai capra ,Pt Remaja Rosdakarya Bandung.
Bunnin, Nicholas
& Jiyuan Yu. The Blackwell Dictionary of Western Philosophy. (Oxford:
Blackwell Publishing. 2004.
[1]Dr.
P.A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia, Yogyakarta:
Kanisius, 2000, hlm. 102-103
[2] Anthony Kenny, An Illustrated Brief
History of Western Philosophy, (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), h.
302.
[3]Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, The Blackwell
Dictionary of Western Philosophy, (Oxford: Blackwell Publishing, 2004), h.
322.
[4] Nicholas Bunnin & Jiyuan Yu, op. cit.,
h. 323.
[5] Harun Hadiwiyono,Dr.Sari Sejarah Filsafat
Barat 2,hal 101
[6] Ahmad
tafsir. filsafat ilmu, akal sejak thales sampai james, hal 153
[7] Dr. Harun Hadiwiyono.Sari Sejarah Filsafat Barat 2,hal
102
0 komentar:
Posting Komentar