Al-Hikam Ibnu 'Ataillah
Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam
al-Ata’illah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul
Hikam.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam
dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme
ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan
segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat
menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu
Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang
lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme
falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar
bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan
unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat
dan hakikat ditempuh dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah
dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih
menekankan nilai tasawuf pada ma’rifat.
Adapun
pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah:
Pertama, tidak dianjurkan kepada para
muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya
mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang
sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.
"Meninggalkan
dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan
berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman.
Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai
petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak
mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang
menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf
yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme,
pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral
(akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga, zuhud
tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah
dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah
laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang
tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau
(al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum
sufi," ujarnya.
Keempat, tidak
ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan
hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh
mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai
menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika
kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha
merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani
antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan
duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.
Keenam, tasawuf
adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai
dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek
penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan
perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan
berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia
berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat
diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan
Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan
makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang,
melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih
lainnya.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah
mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini
membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang
celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn
Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”.
Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya
dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah,
suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu
melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang
maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada
teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung
terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”.
Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang
guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui
?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan
tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi
dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti
menjawabnya”.