Kumpulan Makalah

Subscribe:

Ads 468x60px

Social Icons

About

Blogger news

Blogroll

Rabu, 03 Desember 2014

Seminar Nasional HMJ Ushuluddin dan Dakwah dgn HMPS Akhlak Tasawuf STAIN Pekalongan 2014



Al-Hikam Ibnu 'Ataillah
Kitab ini dikenali juga dengan nama al-Hikam al-Ata’illah untuk membezakannya daripada kitab-kitab lain yang juga berjudul Hikam.
Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.
Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh  dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf  pada ma’rifat. 

Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: 
Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,  dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.  
"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.
Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.
Ketiga,  zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.
Keempat,  tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.
Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. 
Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.
Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Karomah Ibn Athoillah
Al-Munawi dalam kitabnya “Al-Kawakib al-durriyyah mengatakan: “Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: “Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia…”. Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibn Athoillah dengan keras: “Wahai Kamal… tidak ada diantara kita yang celaka”. Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho’illah ketika meninggal kelak.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas’aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketiak mendengar teman-temannya menjawab “Tidak”. 
Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : “Siapa saja yang kamu temui ?” lalu si murid menjawab : “Tuanku… saya melihat tuanku di sana “. Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : “Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya”.

Minggu, 27 Juli 2014

Tarekat Qadiriyah

MAKALAH
TAREKAT QADIRIYAH
Di Susun Guna Memenuhi Tugas Revisi
Mata Kuliyah: Tarekat dan Konsep Suluk
Dosen Pengampu: Dr. Imam Khanafi Al-Jauhari M, Ag



Di Susun Oleh:
Tri Wibowo               (2032 111 009)

PRODI AKHLAK TASAWUF
JURUSAN USHULUDDIN DAN DAKWAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN 2014



PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Qadiriyah adalah nama tarekat yang dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat legendaris yaitu Syekh Muhyiddin Abd Qadir al- Jailani. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam.
Sebuah tarekat biasanya terdiri dari pensucian batin, kekeluargaan tarekat, upacara keagamaan dan kesadaran sosial. Pensucian jiwa artinya melatih rohani dengan hidup zuhud, menghilangkan sifat-sifat jelek yang menyebabkan dosa, dan mengisi dengan sifat-sifat terpuji, taat menjalankan perintah agama, menjauhi larangan, taubat atas segala dosa dan muhasabah introspeksi, mawas diri terhadap semua amalan-amalannya.
Kekeluargaan tarekat terdiri dari syekh tarekat, syekh mursyid (khalifahnya), mursyid sebagai guru tarekat, murid dan pengikut tarekat, ribath (tempat latihan), kitab-kitab, sistem dan metode dzikir. Upacara keagamaan bisa berupa baiat, ijazah atau khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan tarekat talqin wasiat yang diberikan dan dialihkan seorang syekh tarekat kepada murid-muridnya. Dari unsur-unsur diatas salah satu yang paling penting dalam sebuah tarekat adalah silsilah sampai kepada Nabi. Karena silsilah akan menjadi tolak ukur sebuah tarekat itu mu’tabaroh (dianggap sah) atau tidak, serta dasar-dasar ajaran tarekat dan pengalaman-pengalaman tarekat yang mereka ajarkan itu berasal dari nabi atau bukan.
B.     Rumusan Masalah?
§  Mengenal Tokoh pendiri tarekat Qadariyah Syaich Abdul Qadir Al-Jailani?
§  Seperti Apakah Doktrin Tarekat Qadariyah?
§  Bagaimakah Historis proses kemunculan Thariqah Qadariyah Di indonesia?




PEMBAHASAN
1.      Tarekat Qadiriyah
a)      Pendiri dan riwayat hidupnya
Syekh Abd al-Qadir Jilani al-gauts atau Quthb Awliya lahir di desa Naif kota Gilan (wilayah Iraq sekarang) tahun 470 H atau 1077 M, wilayah yang terletak 150 km timur laut Baghdad. Dan meninggal di Baghdad pada tahun 561 H atau 1166 M. Ibunya seorang perempuan yang shalehah bernama Fathimah binti Abdullah al-Shama’i al-Husaini keturunan Rasulullah Saw. Ketika melahirkan Syekh Abd Qadir jilani ibunya berumur 60 tahun. Suatu kelahiran yang tidak lazim bagi wanita yag seumurnya. Ayahnya bernama Abu-Shalih, jauh sebelum kelahirannya ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad Saw yang diiringi oleh para sahabat, imam mujahidin, dan wali.
Nabi Muhammad berkata kepada Abu Shalih,”wahai Abu Shalih” Allah akan memberi anak laki-laki, anak itu kelak akan mendapat pangkat yang tinggi dalam kewalian sebagaimana halnya aku mendapat pangkat tertinggi dalam kenabian dan kerasulan.[1] Syekh Abd Qadir jilani menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi (sultonul awliya) pemimpin para wali yang sering disebut quthub al-awliya atau wali quthub.
Nama lengkap dan silsilah Syekh Abd Qadir jilani sampai ke Nabi Muhammad Saw adalah Abu Muhammad Abd al-Qadir Jilani ibn Abi Shalih ibn Musa ibn Janki Dusat ibn Abi Abdillah ibn Yahya al-Zahid ibn Muhammad ibn Daud ibn Musa ibn Abd Allah al-Mahdi ibn Hasan al-Musanna ibn Hasan al-Sibthi ibn Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra al-Bathul binti Rasulallahi Saw. Silsilah ini amat penting artinya dalam tradisi tarekat karena “Darah Biru” spiritual harus bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Di samping Itu, bersambungnya silsilah tersebut merupakan indikator bahwa tarekat tersebut di anggap muktabar.
§  Silsilah Thariqah Qadiriyah Hingga Di Indonesia
Allah S.W.T
Malaikat Jibril
Nabi Muhammad S.A.W
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib
Sayyidina Husein
Imam Zainul Abidin
Muhammad Al-Baqir
Ja’far Shadiq
Musa Al-Kadzim
Abul Hasan Ali ibn Musa al-Ridho
Ma’ruf al-Karkhi
Sari al-Saqathi
Abul Qasim al-Junaid al-Bagdadi
Abu Bakar Dulafi al-Syibli
Abdul Wahid al-Tamimi
Abul Faraj al-Thusi
Abu Hasan Ali al-Hakkari
Ibu Said Al-Mubarak Al-Mahzumi
Syeikh Abdul Qadir Jilani
Moh Hattak
Syamsuddin
Syarafuddin
Zainuddin
Nuruddin
Waliyuddin
Hisyamuddin
Yahya
Abu Bakar
Abdurrahim
Usman
Klamuddin
Abdul Fattah
Moh. Murod
Syamsuddin
Ahmad Khotib Sambas ibn Abdul Gaffar
Abdul Karim
Ahmad Hasbullah ibn Muhammad Madura
Moh Kholil
Moh Romli Tamim
Usman Ishaq
M Mustain Romli[2]
Bersambungnya silsilah tersebut merupakan idikator bahwa tarekat tersebut di anggap Muktabarroh. Keutamaan Syekh Abd Qadir sudah tampak semenjak bayi, ia tidak mau menyusu disiang hari kepada ibunya selama bulan ramadhan, begitu juga dengan kejujurannya Syekh Abd Qadir, sudah terlihat semenjak usia balita. Disamping itu karena penghormatan yang sangat tinggi kepadanya menimbulkan cerita-cerita kekeramatan yang sangat luat biasa. Namun tidak dapat dipungkiri akan ketinggian ilmunya dan kekuatan pengaruhnya. Kepribadiannya yang sangat menarik, artikulasi bahasa yang bagus menjadikan ia tokoh yang sangat dihormati dan dikenang sepanjang zaman. Dalam bidang hukum islam, beliau lebih cenderung pada mazhab Hambali, sedangkan pemikiran kalamnya lebih keliatan warna teologi Asy’ari.
b)     Sejarah Perkembangannya
Qadiriyah adalah nama tarekat yang dinisbatkan kepada seorang sufi besar yang sangat legendaris yaitu Syekh Muhyiddin Abd Qadir al- Jailani. Tarekat ini menempati posisi yang amat penting dalam sejarah spiritualitas islam karena tidak saja sebagai pelopor lahirnya organisasi tarekat, tetapi juga cikal bakal munculnya berbagai cabang tarekat di dunia Islam. Kendati struktur organisasinya baru muncul beberapa dekade setelah kematiannya, semasa hidup sang syekh telah memberikan pengaruh yang sangat besar pada pemikiran dan sikap umat islam. Dia dipandang sebagai sosok ideal dalam keunggulan dan pencerahan spiritual. Namun generasi selanjutnya mengembangkan sekian banyak legenda yang berkisar pada aktivitas spiritualnya, sehingga muncul berbagai kisah ajaib tentang dirinya.
[3]Syekh Abd Qadir al-Jilani memimpin madrasah dan ribathnya di Baghdad. Sepeninggalnya kepemimpinannya dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Abd Wahab (552-593 H atau 1151-1196 M). Dan setelah Abd Wahab wafat maka kepemimpinannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdussalam (w. 611 H atau 1241 M). Madrasah dan ribat (pemondokan para sufi), secara turun temurun tetap berada dibawah pengasuhan keturunan Syekh Abd Qadir al-jilani. Hal ini berlangsung sampai hancurnya kota Baghdad oleh ganasnya serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (1258 M atau 656 H). Serangan Hulagu Khan inilah yang menghancurkan sebagian besar keluarga Syekh Abd Qadir al-Jilani, serta mengakhiri eksistensi madrasah dan ribatnya di kota Baghdad.
Perkembangan tarekat ini sangat meluas, [4]Menurut Trimingham, sebagaimana di kutip olehMartin Bruinessen, mengatakan bahwa sekitar tahun 1300 tarekat qadariyah sudah mapan di irak dan suriah, tetapi masih kecil belum disebarluaskan ke luar wilayah ini. Baru satu abad kemudian tarekat ini masuk benua india untuk pertama kalinya dan barumulai berkembang menjelang akhir abad ke-15. Pada masa yang sama, tarekat ini juga mulai berkembang di Afrika Utara. Sekitar tahun1550, tarekat ini dibawa ke Afrika timur. di turki tarekat qadariyah baru masuk pada awal abad ke-17, dan kemudian berkembang setelah abad tersebut. Tokoh besarnya, Ismail Rumi (w. 1643).
Tarekat qadariyah di bawa ke india pertama kali oleh Mir Nurullah. Ia adalah cucu tokoh sufi iran yang besar, syah ni’matullah Wali. Di india wilayah yang menjadi tempat pertama kalinya tarekat qadariyah masuk adalah negara Bidar, di bagian Barat India Tengah. Sedangkan daerah india yang subur bagi tarekat qadariyah adalah Gujarat (India bagian Barat). Guru pertama disana agaknya adlah sayyid Jamil Patsri, yang mengkalaim diri keturunan Abdul Qadir sendiri melalui putranya, Abdu AL-wahab. Selain dia dua keturunan syaich Abdul Qadir lainya juga datang dan menetap di Ahmadabad. Semasa dengan tiga syaich tarekat ini, dua syaich dari jalur lain juga mengajarkan Tarekat Qadariyah di kota Burhanpur, yakni syaich Husain Khuda Nama dan putranya sayid Abd’ Al-Shamad Khuda-Numa.
Proses masuknya tarekat Qadariyah ke indonesia di kisahkan lewat penyair besar Hamzah Fansuri. Ia mendapat Khilafat (Ijazah UntukMengajar) ilmu syaich Abdul Qadir ketika bermukim di Ayuthia, ibu kota Muangthai (Orang persia dan india menamakanya dalam bahasa persi, syahr-i Naw, Kota Baru). Hal itu dapatdi buktikanadanaya baityang berbunyi:
Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat Wujud di tanah Syahr Nawi
Beroleh khilafat yang ali
Dari pada Abdul Qadir Jailani.[5]
Namun ada pendapat lain bahwa Hamzah Fansuri mendapat Khilafat di Baghdad, tetapi yang pasti beliau adalah orang Indonesia pertama yang menganut Tarekat Qadariyah dan Qadariyah adalah tarekat pertama yang disebut dalam sumber-sumber pribumi. Pada waktu itu beliau berziarah  ke makam Syai Abdul Qadir yang terletak di kota Baghdad dan barang kali terjadi pembaitanya dalam ilmu Syaich Abdul Qadir, hal itu bisa dilihat dalam syair berikut:
Syaich Al-Fansuri Terlalu Ahli,
Beroleh Khilafat Di Benua Baghdad.[6]
Indikasi bahwa Tarekat Qadariyah bertahan di Aceh setelah Hamzah sekitar Tahun 1645, syaich yusuf Makasar dan ia masuk Tarekat Qadariyah disana, seperti yang ditulis dalam risalah Safinah al-Najat.
2.      Ajaran dan Praktik tarekat qadariyah[7]
a.      Aspek ajaran
Menurut al-Sya’rani bahwa bentuk dan karakter tarekat Qadariyah adalah tauhid, sedangkan pelaksanaannya tetap menempuh jalur syariat lahir dan batin.  Syaikh Ali ibn al-Hayti menilai bahwa tarekat Syekh Abdul Qadir adalah pemurnian akidah dengan meletakan diri pada sikap beribadah, sedangkan Ady ibn Musafir mengatakan bahwa karakter tarekat qadariyah adalah tunduk dibawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh serta kesatuan lahir dan batin.
Ajaran spiritual Syekh Abdul Qadir berakar pada konsep tentang dan pengalamannya akan Tuhan. Baginya, Tuhan dan tauhid bukanlah suatu mitos teologis maupun abstraksi logis, melainkan sebuah pribadi yang kehadiran-Nya merengkuh seluruh pengalaman etis, intelektual dan estetis seorang manusia. Ia selalu merasakan bahwa tuhan senantiasa hadir. Nasihat Rasulullah dalam hadits, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak dapat melihat-Nya, ketahuilah bahwa ia melihatmu. Ini merupakan semboyan hidupnya yang diterjemahkan dalam praktik kehidupan sehari-hari.
Khotbahnya menggambarkan keluasan kesadarannya akan kehadiran Tuhan yang serba meliput. Ia meyakini bahwa kesadara ini membersihkan dan memurnikan hati seorang manusia, serta mengakrabkan hati dengan alam roh. Ajaran Syekh Abdul Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu beliau memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tinggi yaitu taubat, zuhud, tawakal, syukur, ridha, dan jujur.
b.      Aspek praktik[8]
Diantara praktik spiritual yang diadopsi oleh tarekat Qadariyah adalah “dzikir”, melantunkan asma Allah berulang-ulang. Didalam praktik dzikir terdapat beberapa tingkatan dalam penekanannya.
*      Dzikir dengan satu gerakan dilakukan dengan mengulang-ngulang asama Allah, melalui tarikan nafas yang kuat, diikuti dengan penekanan dari jantung dan tenggorokan, kemudian dihentikan sampai nafas kembali normal.
*      Dzikir dengan dua gerakan dilakukan dengan duduk dalam posisi shalat, kemudian melantunkan asma Allah di dada sebelah kanan, lalu dijantung dengan berulang-ulang, hal ini dianggap efektif untuk meningkatkan konsentrasi dan menghilangkan rasa gelisah dan pikiran yang kacau.
*      Dzikir tiga gerakan dilakukan dengan duduk bersila dan mengulang pembacaan asma Allah dibagian dada sebelah kanan, kemudian disebelah kiri dan akhirnya dijantung. Kesemuanya dilakukan dengan intensitas yang lebih tinggi dan pengulangannya yang lebih sering.
*      Dzikir empat dilakukan dengan duduk bersila, dengan mengucapkan asma Allah berulang-ulang di dada sebelah kanan, kemudian disebelah kiri, lalu ditarik kearah jantung, dan terakhir dibaca di depan dada. Cara terakhir ini dilakukan lebih kuat dan lebih lama.
Praktik dzikir ini dapat dilakukan bersama-sama, dibaca dengan suara keras atau perlahan , sambil duduk membentuk sebuah lingkaran setelah shalat, pada waktu shubuh maupun malam hari. Jika seorang pengikut sanggup melantunkan asma Allah empat ribu kali setiap harinya, tanpa putus selama dua bulan, dapat diharapkan bahwa dirinya telah memiliki kualifikasi untuk meraup pengalaman spiritual tertentu.
Setelah melakukan dzikir, tarekat menganjurkan untuk melakukan pegaturan nafas (pas-i anfas) sedemikian rupa, sehingga dalam proses menarik dan menghembuskan nafas, asma Allah bersikulasi dalam tubuh secara otomatis. Kemudian diikuti dengan murokobah. Dan dianjurkan untuk berkonsentrasi pada sejumlah ayat Al-Quran atau sifat-sifat ilahi tertentu, hingga sungguh-sungguh terserap pada kontemplasi.

PENUTUP
§  Kesimpulan
Setelah saya, berfikir , dan mengkaji ulang buku-buku yang menjadi bahan referensi makalah saya, saya sangat kesulitan sekali kira-kira kata-kata apa yang pantas saya tuliskan untuk menjadi penutup kesimpulan dari makalah ini. Ada sebuah hadits yang mengatakan” al-insanu mahalul khoto wa nisyan” manusia itu adalah tempat kesalahan dan kelupaan,  karena terkadang manusi itu berbuat salah, namun terkadang manusi itu juga berbuat benar. Begitu juga karena keterbatasan ilmu yang saya miliki, saya hanya bisa mengutip poin-poin yang menurut saya sangat penting sekali untuk diketahui, sebagi bahan kesimpulan makalah metodologi ini:
  • Salah satu yang paling penting dalam sebuah tarekat adalah silsilah, karena ini akan menjadi sebuah tolak ukur apakah tarekat itu dianggap muktabaroh (sah) atau tidak
  • Tarekat Qadiriyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul dan sebagai pelopor bagi munculnya tarekat-tarekat yang lain
  • Tarekat Qadiriyah pertama kali berkembang di Baghdad, terus menyebar keseluruh pelosok bumi, hingga ke Indonesia.
  • Diantara metode yang diadopsi oleh tarekat Qadiriyah adalah dzikir lailaha illallah
  • Terakhir, pada intinya tujuan tarekat sendiri tiada lain untuk mencari kedekatan beribadah yang lebih dekat dengan tuhan. Sebagi pensucian jiwa dari segala dosa dan kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA
Anshary, M. Hilman. (ed.), Resonansi Spiritual Wali Quthub Syaich Abdul Qadir Jailani, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004
Drs. Aqib, Kharisudin. M.Ag. 1998. AL-HIKMAH memahami ‘teosofi tarekat qodariyah wa naqsabandiya’. Dunia Ilmu. Surabaya
Hj. Dr. Mulyati, Sri. MA. 2011. Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. Kencana. Jakarta





[1] M. Hilman Anshary, (ed.), Resonansi Spiritual Wali Quthub Syaich Abdul Qadir Jailani, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h. 3.
[3] Drs. Aqib. Kharisudin, M.Ag. AL-HIKMAH memahami teosofi tarekat qodiriyah wa naqsyabandiyah,( Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), hal: 49.
[4] Hj.Dr. Mulyati. Sri, MA. Tarekat-Tarekat Muk’tabarah di Indonesia,( Jakarta: Kencana, 2011),  h. 48-49.
[5] Syaich Muhammad Naquib al-attas,The Mysticism of Hamzah Fansuri, (Kuala Lumpur: Universitas of Malaya Press, 1970), h. 11, G.W..J. Drewes & L.F. Brakel, The Poem of Hamzah Fansuri, (Dodrecht: Foris, 1986), h. 44-45.
[6] Syeik Muhammad. The Mysticism, h. 11.
[7] Hj.Dr. Mulyati. Sri, MA. Tarekat-Tarekat Muk’tabarah di Indonesia,( Jakarta: Kencana, 2011),  h. 36-37
[8] Ibid, h. 44